Tiada manusia yang tidak membutuhkan belajar sekalipun ia dekat dengan kematian.
...aku menari bersama senja diiringi nyanyian hujan yang membekukan... ..
☂☂☂
Agustus 22, 2011
Agustus 16, 2011
Pelukan Terakhir Danar
Malam ini,
tatapanku terpaku dalam kosong. Aku merasakan kembali kegelisahan yang sejak
beberapa bulan terakhir tak mernah menghampiriku. Tepatnya setelah aku
memutuskan untuk kembali mengisi bagian yang sempat kosong dalam hatiku.
Kembali pada hati yang dulu sempat kusakiti, Danar. Anganku kembali pada
detik-detik memilukan beberapa tahun silam.
“Danar, aku
sayang kamu.” Ucapku lembut memulai pembicaraan yang menyakitkan.
“Iya, aku tau,
sayang.” Balasnya tak kalah lembut. Jemarinya merengkuh jemariku.
Menggenggamnya erat. Seakan tak pernah mau terpisah.
“Maafin aku ya.”
“Maaf untuk
apa?” Danar mulai merasakan ada hal yang aneh.
“Maaf karena
aku terlalu sayang kamu.”
Danar terdiam.
Tak ada kalimat yang ingin ia katakan sedikitpun. Ia hanya menunggu aku
melanjutkan kalimat yang begitu menggantung.
“Aku cuma
mau...” kalimatku terhenti. Seperti ada duri yang tiba-tiba menahan setiap kata
yang ingin keluar dari bibirku. Sementara air mataku mulai beranjak ingin
menetes, namun aku berusaha untuk membendungnya. Aku tak ingin Danar melihat
air mataku sekarang.
“...”
“Aku mau kita
udahan aja.” Kalimat buruk itu telah kuucapkan. Lega rasanya.
“Kenapa, Anti?
Kamu udah bosen ya?”
Bosan? Jleb! Kata itu terucap dari bibir
manis Danar yang selama ini memerlakukanku sungguh sopan dan istimewa. Rasanya
seperti ada paku yang tertuncap dalam dadaku. Mengoyakkan segala dinding kokoh
harga diriku. Bahkan ia tidak lagi memanggilku dengan sebutan ‘sayang’ seperti
yang ia lakukan sebelumnya. Ia langsung saja menyebut namaku yang sangat jarang
ia lakukan ketika kami masih bersama. Aku merasakan kesedihan dan penyesalan
yang luar biasa. Namun aku telah memantapkan hati untuk tetap mengakhiri semua
ini, apapun yang terjadi. “Kamu tau kan aku bukan tipe orang yang cepat bosen?”
“Iya,”
“Tapi kenapa
kamu bilang begitu? Aku ngga bosen kok sama kamu. Aku cuma terlalu sayang sama
kamu.”
“Apa terlalu
sayangnya kamu sama aku harus begini, An?”
“Aku rasa ini
hal yang paling baik untuk kita saat ini.”
Danar terdiam
beberapa saat, banyak kalimat yang ingin ia ungkapkan. Namun itu semua ia
sembunyikan rapat-rapat. Hanya ia yang tau. “Anti, boleh aku jujur?”
Aku mengangguk
“Kalau boleh
memilih, aku selalu berharap ngga pernah ada dalam posisi seperti saat ini.
Meskipun aku ngga pernah merasakan ini sebelumnya, tapi aku tau posisi ini akan
selalu menyakitkan. Seperti apapun caranya,” Danar menarik nafas sedih, “tapi
perlu kamu tau, aku lebih ngga mau kamu merasa tersakiti dan sedih. Jadi,
apapun keputusan dan keinginan kamu, aku akan terima.” Sebuah senyum getir
muncul di wajah Danar. Ia mendekapku masuk dalam peluknya. Hangat. Penuh
ketenangan.
Air mataku
benar-benar menetes mengingat detik-detik beberapa tahun silam itu. Kegundahan
yang sama kini sedang kurasakan. Danar akan pergi meninggalkanku. Raganya akan
semakin jauh dariku. Memang hanya sebentar, tidak sampai satu bulan, tapi entah
mengapa kali ini aku merasakan kegelisahan yang luar biasa. Sejak beberapa
minggu belakangan, aku selalu sabar menghadapi Danar dengan segala kesibukannya
yang tiada henti. Aku selalu berada disampingnya untuk memberikan support. Tapi
tak bisa dipungkiri lagi bahwa aku hanyalah manusia biasa yang merasakan
kesedihan bila jauh dari orang yang aku sayang. Aku takut akan ada penyesalanku
lagi seperti beberapa tahun silam.
Mungkin ini
agak berlebihan, tapi kepergian Danar kali ini betul-betul menyisakan kesedihan
yang berbekas. Beberapa minggu kedepan handphone-ku akan sunyi dari celoteh
sayang Danar yang selalu meramaikan hatiku.
Tak berapa
lama, lantunan musik merdu terdengar dari handphone yang tergeletak disisi
kanan tubuhku. Sebuah panggilan dari Danar. Tanganku langsung bergerak
mengangkat teleponnya.
“Hallo.”
“Hallo, sayang.
Happy anniversary ya buat kitaJ.”
“Happy
anniversary juga ya.” Jawabku malas.
“Sayang, aku
kangen sama kamu. Besok kan aku pergi, aku mau ketemu kamu sekarang. Aku
kerumah kamu yaa.” Pinta Danar
“Iya.” Ucapku
seperlunya. Danar tau apa yang aku rasakan. Aku memang telah menceritakan
sebelumnya.
“Kamu jangan
bĂȘte dong sayang. Maaf ya kalau aku selalu egois.”
“...”
“Jeleeek...”
“Iya.”
“Bukain pintu
dong. Aku udah didepan rumah kamu nih.”
Aku terlonjak.
Sesegera mungkin berdiri kemudian berjalan menjangkau pintu depan. Danar
berdiri disana, kemudian menyapaku dengan senyumnya yang selalu kusukai.
Kubalas dengan senyum pula, namun tak seindah biasanya. Masih ada gurat
kesedihan. Malam ini, malam perpisahan kami sebelum Danar benar-benar pergi
esok pagi.
Kami berdiri
berdampingan di halaman rumahku yang cukup luas dibawah taburan bintang yang
menyampaikan kasihnya, dan ditemani kekosongan diantara kami berdua. Tak ada
topik pembicaraan yang terjalin diantara kami. Bahkan, aku dan Danar sama-sama
sibuk dengan pandangan masing-masing ke langit malam yang terasa sangat berbeda
malam ini.
Perasaanku
berkecamuk. Satu sisi aku tidak rela Danar pergi meskipun hanya untuk
sementara, namun sisi lain aku harus bersikap dewasa dan memberikan support
pada kepergiannya yang berhasil membuat perasaanku tak menentu beberapa hari
belakangan ini. Tanganku reflex menggapai tangan Danar. Menggenggamnya erat
seperti yang ia lakukan beberapa tahun lalu. Namun kali ini lebih hangat dan
penuh rasa takut. Getaran getir yang kurasakan mulai mengalir menyeberangi
genggaman tanganku dan menepi pada lubuk hati Danar. Seketika itu pula Danar
mendekapku dalam pelukan hangatnya. Perasaanku semakin tak menentu. Banyak hal
yang ingin aku ungkapkan, namun terhenti begitu saja, tak mampu kuungkapkan.
Hati kecilku menuntut untuk aku tidak mengungkapkannya, khawatir membuat Danar
sedih dan semakin tidak rela jauh dariku. Semuanya tetap tersimpan erat. Aku
berusaha menikmati pelukan hangat Danar untuk menenangkanku. Namun tak semudah
itu, titi-titik getir masih jelas tersirat di wajahku.
“Tenang aja,
sayang. Aku hanya pergi sebentar.” Ucap Danar. Suaranya lembut. Menyentuh
lumbung hati terdalamku. Menutup segala ketakutan dan menghapus getir dari
hatiku. Aku tak mampu berkata. Aku semakin terhanyut dalam pelukan Danar yang
terakhir.
Makasih banyak udah nyempetin
buat baca cerpen ini. Ada yang bisa memberikan kesimpulan???
Langganan:
Postingan (Atom)