...aku menari bersama senja diiringi nyanyian hujan yang membekukan... ..

☂☂☂

April 27, 2011

Je l'ai revu


la semaine dernière ...
Il me semblait revenir mon esprit
qui avaient perdu tout comme que je décolle

y faire face de nouveau
implique un parfum heureux
pas imparable ...

Bright Eyes est toujours le même
les ténèbres intérieures
à la dérive sans direction

sourire reste molle
comme le vent
bouleversé le balayage à l'esprit

mon corps à augmenter à nouveau
parfait que jamais
avec un sourire le matin
gazouillis du bruit avec le cliquetis

je vous remercie de re-
m'a donné l'esprit de standing
chassé asa
rêve d'atteindre des objectifs

April 26, 2011

Menulis untuk Kartini



“Ma, besok pagi Rara minta uang ya buat beli buku,” ucap Rara memelas kepada mamanya usai makan malam.
“Buku apa lagi sih Ra?” Kamu itu selalu minta dibelikan buku. Tiap ada ‘book fair’ juga selalu ingin datang.” Kata mamanya agak kesal. Gadis sulungnya itu selalu menyukai hal-hal yang jarang disukai remaja seusianya. Pergi ke mall saja bukan untuk beli baju, tapi selalu buku bacaan yang dibelinya. Bukannya tidak suka, tapi wanita paruh baya yang masih terlihat cantik itu khawatir anaknya akan menyesal tidak sempat menjalani kehidupan sebagai remaja biasa yang diberi kebebasan. Tapi untung saja, penampilan Rara tidak terlihat jauh berbeda dengan remaja lainnya –meskipun Rara tidak pernah sekalipun memasuki salon tertentu untuk melakukan perawatan khusus, karena Rara memang tidak suka–.
Rara mendengus kesal, “tapi kan mama belum pernah mewujudkannya satu pun”, kali ini nada bicara Rara berubah agak meninggi.
“Ya, memang mama tidak akan penuhi semua yang berhubungan dengan hobi kamu itu. Mama hanya memberi kamu uang jajan setiap pagi. Lalu terserah kamu, mau kamu gunakan untuk apa uang itu.” Kata mama Rara sambil bangkit dari duduknya.
Rara merasakan sesuatu yang aneh. Kenapa mamanya tidak mendukung hobi positif Rara? Berbagai prasangka memenuhi benak Rara. “Ah, sudahlah. Lihat saja suatu saat kelak aku akan menjadi penulis yang sukses. Dan mama pasti bangga.” Rara bergumam pelan.
®®®
Sejak saat itu, Rara semakin giat menekuni hobinya menulis. Hubungan dengan mamanya-pun telah kembali seperti biasa. Meskipun sejujurnya masih ada perasaan lain dalam hati Rara. Namun ia berusaha menyimpannya rapat-rapat, khawatir ada yang tahu. Ia telah berkomitmen dengan dirinya sendiri, bahwa ia akan tetap menekuni hobinya dengan serius, sekalipun wanita yang dicintainya tidak akan pernah mendukung penuh. Rara memang terbiasa melakukan segala hal sendiri. Sejak tumbuh sebagai remaja belia, Rara menyadari bahwa perlakuan mamanya kepada Rara dan Lala, adiknya, sangat berbeda. Namun hal itu hanya dipendamnya dalam hati. Tak pernah Rara berniat untuk mengungkapkannya, bahkan pada buku hariannya sekalipun. Meski begitu, Rara sangat mencintai mamanya.
“Astaghfirullah, ya Allah maafin Rara yang berprasangka lagi sama mama,” gumam Rara menyadari kekeliruan dirinya.
®®®
Disekolah, Rara tumbuh sebagai remaja belia yang sangat menggemari dunia buku, baca, dan tulis-menulis. Ia sangat ingin kelak bisa menjadi penulis hebat. Kecintaannya tersebut membuatnya rela tidak menjamah kantin sekolah demi mengumpulkan uang untuk membeli buku bacaan dan menjelajahi berbagai event book fair yang menarik perhatiannya.
Meskipun dunia hobi Rara berbeda dengan teman-temannya kebanyakan, Rara mampu bersosialisasi dengan baik di lingkungan belajarnya. Hanya disanalah Rara memperoleh senyum dan semangat untuk terus mengembangkan hobinya.
®®®
Rara menapaki anak tangga SMA Nusantara satu demi satu. Melangkah mantap menuju ruang kelasnya di lantai tiga. Ketika hendak mengambil posisi duduk di baris kedua dekat tembok, tiba-tiba ada yang menepuk pundaknya dari belakang. Menjatuhkan buku bacaan yang ada di tangan kanan Rara.
“Ra, tumben baru dateng. Dari tadi gue nyariin lo mau ngasih ini.” Seorang gadis berambut ikal menyerahkan sebuah amplop cokelat pada Rara.
“Ini apa zi?”
“Baca aja Ra! Gue buru-buru nih mau ke kelas. Udah dulu ya, daah…” gadis yang disapa Zia itu berjalan meninggalkan Rara menuju kelasnya yang berada berdampingan dengan kelas Rara.
“Thanks, Zi.” Ucap Rara setengah berteriak mengingat langakh Zia yang sudah mencapai pintu kelas XI IPA 3. Rara duduk ditempatnya. Membuka amplop cokelat yang tadi diberikan Zia. Membaca tiap lembarnya dengan serius dan teliti.
Bel masuk SMA Nusantara berdering. Rara merapikan lembar-lembar yang baru saja dibacanya, kemudian memasukkannya ke dalam tas. Aroma wajahnya terlihat begitu cerah. Tangannya yang lincah mengambil ponsel berwarna ungu muda dari saku rok abu-abu, kemudian mengayunkan jemarinya mengetikkan sebuah pesan yang ditujukan untuk sahabatnya di kelas sebelah, Fauzia Larasati.
To: Zia
Zi, pulang sekolah gue tunggu di taman biasa ya. Merci.
®®®
“Zia, akhirnya lo dateng juga. Nih…” ucap Rara seraya menyodorkan map berwarna merah dan biru.
Zia yang sudah hafal perilaku sahabatnya itu langsung menerima kedua map yang disodorkan kemudian mengambil posisi duduk yang nyaman. Zia membaca isinya satu per satu.
Sementara Zia membaca kedua cerpen miliknya, Rara sibuk berkutat dengan pulpen dan buku kecil yang selalu dibawanya. Lima belas menit berlalu. Zia telah selesai membaca kedua cerpen Rara. “Bagus, Ra. Tapi kok lo cepet banget bikinnya? Kan baru tadi pagi gue kasih undangan lomba.”
“Iya, ini koleksi cerpen yang ada di flashdisk gue. Udah selesai lama kok. Tadi cuma gue edit sedikit disesuai-in sama persyaratan lomba.”
“Oh. Pantes tadi gue liat lo masuk lab. komputer, hari ini kan lo ngga ada jam-nya. Terus, kalo menang lagi uangnya mau lo apain Ra? Buat nyokap lo lagi?” tanya Zia dengan nada suara diperhalus, takut menyinggung perasaan sahabatnya itu. Rara memang sangat rapuh untuk hal-hal yang berkaitan dengan mamanya. Rara selalu merasa sedih bila mengingat perlakuan mamanya yang tidak pernah menyukai hobi menulisnya itu. Padahal, sudah sangat sering Rara menjuarai perlombaan, dan hadiahnya selalu dipersembahkan untuk mamanya. Namun, mama Rara tetap saja tidak peduli.
“Iya, Zi.” Jawab Rara mendadak lemas.
“Gue salut sama lo, Ra. Lo nggak pernah capek berusaha meluluhkan perasaan nyokap lo yang jelas-jelas ngga suka kalo lo nulis. Bahkan, bukannya bangga, tapi lo justru dimarahin tiap menang lomba.”
“Tapi gue percaya kok, Zi, suatu saat mama pasti dukung hobi dan cita-cita gue ini.”
“Semangat terus ya, Ra. Gue selalu dukung lo kok.”
“Yaudah, sekarang temenin gue daftar ya. Sekalian ngumpulin cerpen ini.”
“Tapi batas waktunya kan masih seminggu lagi. Cerpen ini udah final? Mana yang mau lo kirim buat lomba? Persyaratannya emang udah siap semua?”
“Gue kirim yang ini, Zi”, ucap Rara seraya menunjukkan map berwarna merah dan memasukkan map biru ke dalam tasnya, “persyaratannya gampang kok, cuma butuh surat keterangan dari sekolah aja, tadi langsung gue urus dan sekarang udah dapet.”
“Kok cepet?”
“Iya, gue minta bantuan Bu Marini.”
“Oke deh. Mau berangkat kapan?”
“Sekarang yuk, tapi gue kabarin mama dulu.”
“Sipp.”
Rara mengambil ponselnya kemudian mengetikkan sesuatu.

To: Mama
Aslm. Ma, Rara pulang telat hari ini. Ada rapat.
Ma, maaf ya Rara harus bohong lagi sama mama’ Rara bergumam. Ia memandangi layar ponselnya. Berharap ada balasan. Namun, nihil… Tak ada balasan. Ia memasukkan kembali ponselnya dalam saku rok abu-abu, kemudian berjalan mengikuti sahabatnya yang sudah beranjak sejak beberapa detik.
®®®
Dua pekan kemudian, pemenang lomba cerpen diumumkan. Rara juara lagi. Kemudian ia buru-buru pulang kerumah untuk memberitahukan kabar ini pada mamanya.
“Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumsalam.”
“Ma, ini hadiah lomba cerpen. Rara baru aja menang lagi.”
“Kamu masih sering ikut lomba cerpen? Udah berapa kali sih mama bilang, kalau mama ngga suka kamu nulis. Lupain lah hobi menulis kamu itu. Kamu sekolah aja yang serius.”
“Tapi kenapa ma? Bukannya prestasi Rara dikelas juga ngga buruk? Kenapa mama tetep ngga izinin Rara dengan hobi menulis?” emosi Rara mulai muncul, namun ia berusaha menutupi dengan ketenangannya.
“Apapun alasannya, mama tetap ngga akan pernah suka dengan hobi kamu itu. Sudah, sana masuk kamar!” ucap mamanya agak membentak.
Rara kecewa, hati mamanya masih belum tersentuh dengan segala prestasi yang telah diraihnya susah payah. Langkahnya lesu menuju kamarnya di lantai dua. Kesedihannya telah mencapai puncak. Ia tidak mampu menyimpannya sendiri. Ia segera menghubungi Zia…
“Zi…”
“Iya, Ra.” Sahut suara diseberang.
“…” Rara terdiam.
“Kenapa Ra? Nyokap lo masih belum bisa suka dengan hobi lo ya?” Zia menebak.
“Iya, Zi. Gue bingung harus gimana lagi. Andai aja sekarang gue tinggal sama bokap. Pasti beliau dukung hobi gue. Sayangnya bokap lebih milih tinggal di Bandung.”
“Sabar aja ya, Ra. Kan lo yang bilang sendiri. Suatu saat nyokap lo pasti dukung hobi lo itu. Yang penting lo terus buktiin ke nyokap, kalau lo patut dibanggakan.”
“Zi… Sekarang gue mulai ngerasa capek buat buktiin itu ke nyokap.”
“Kenapa?”
“Rasa sabar gue udah ngga ada lagi. Padahal gue selalu menghargai nyokap dengan semua larangannya tentang hobi gue. Gue berusaha tetap kuat walaupun harus sembunyi-sembunyi ngejalanin hobi ini.”
“…”
“Gue ngga mau nyusahin lo terus Zi.”
“Gue ngga….”
Rara segera memotong, “Lo emang sahabat terbaik gue, Zi. Walaupun hampir setiap hari gue kerumah lo cuma buat nenangin diri. Entah itu untuk nulis ataupun nenangin diri dari masalah dirumah. Makasih banyak ya, Zi.”
“Ra, lo harus tetep kuat. Bukannya sahabat gue selalu kuat?”
“Tahun baru yang lalu, gue pulang bawa piala juara nasional. Hari kartini, gue berhasil juara lomba karya tulis. Ulang tahun nyokap, gue mempersembahkan uang hadiah lomba cerpen yang gue anggap hasil jerih payah pertama gue. Awal semester lalu, gue terpilih sebagai perwakilan dari sekolah dalam event besar. Hari ibu, gue kasih kumpulan puisi dan tulisan indah yang hampir terbit tapi gue tolak, buat nyokap. Terakhir, juara umum lomba cerpen kartini. Semua itu buah dari hobi menulis gue. Tapi satupun ngga ada yang dilirik sama nyokap gue. Dia cuek aja. Gue ngerasa ngga dianggep dirumah. Capek, Zi…” tak terasa air mata Rara menitik di pipinya.
“Ra, biar gimanapun, beliau tetap nyokap lo. Dia sayang kok sama semua anaknya. Percaya deh sama gue. Dia mau yang terbaik untuk anak-anaknya.”
“Yang terbaik? Apa yang terbaik menurutnya dengan melarang gue dengan hobi nulis?”
“Nyokap lo pasti punya alas an lain. Suatu saat mungkin lo akan tau itu. Yang penting lo harus yakin sama diri sendiri. Lanjutin hobi lo! Suatu saat pasti luluh kok, kalau lo sungguh-sungguh.”
Air mata Rara tak terbendung lagi.
“Sekarang lo istirahat, ya. Masih banyak cara kok buat lo yakinin nyokap kalau lo patut dibanggakan.”
“Thanks ya, Zia!”
“Sama-sama.”
Telepon terputus. Rara bergerak menuju meja belajarnya sambil memegangi dadanya yang tiba-tiba sesak. Mulai sibuk kembali dengan alat tulisnya. Ia mencurahkan segala isi hatinya dalam goresan-goresan indah diatas kertas berupa cerita dan puisi. Tentang mamanya. Tentang betapa rindunya ia terhadap dukungan mamanya dengan hobinya menulis. Tentang perasaannya yang begitu mencintai dan menghargai mamanya, sepenuh hati.
Rara terlelap dalam sedih. Kepalanya tersandar lemah diatas meja belajar. Masih terlihat bekas air mata di pipinya. Raut wajahnya sepi, namun penuh harap. Mamanya masuk kedalam kamar Rara yang tak terkunci. Memandangi gadis sulungnya yang terlelap sedih. Ia melihat kearah kertas-kertas penuh tulisan yang berserakan disekitar meja belajar, kemudian mengambilnya dan membacanya. Tak berapa lama, kertas-kertas itu dikembalikannya pada tempat semula.
“Maafin mama ya, Ra.” Ucapnya lemah. Tubuhnya berbalik. Keluar dari kamar Rara dengan berjuta perasaan bersalah.
Rara tak pernah mendengar itu.
®®®
Seuntai musik merdu mengalun lembut dari ponsel berwarna ungu. Menandakan bahwa sebuah pesan telah masuk. Membuyarkan lamunan Rara ditengah hamparan taman yang hijau.

Sender    :   Zia
Received :   03:49:38 pm [2.Apr.2011]
Raraaa… Selamat yaa, kumpulan kisah kartini lo lulus seleksi. Dua minggu lagi terbit. 21 April launching. Sekali lagi selamat ya sahabatku yang paling hebat dan selalu membanggakan J

Rara menutup pesan tanpa membalasnya terlebih dahulu. Hatinya merasa hampa. Buat apa kisah kartini karyanya terbit kalau orang istimewa yang ingin ia persembahkan tak pernah menyukainya.
Ditengah kesediriannya di taman, Zia datang. Zia merasa tidak pantas kalau tidak mengucapkan maaf dan selamat secara langsung.
“Rara…” sapanya.
“Eh, Zia. Kok tau gue disini?”
“Sahabat macem apa kalo ngga tau kebiasaan sahabatnya sendiri.” Lanjutnya mencairkan suasana yang dirasa ‘sedikit’ agak kaku.
“Oh, iya.”
“Sekali lagi gue minta maaf ya, Ra. Gue ngga bilang-bilang dulu waktu kirim koleksi kisah kartini lo.”
“Iya nggak apa-apa kok.” Jawab Rara masih kaku.
“Selamat juga ya!”
“Makasih.”
“…” Zia mendadak tidak memiliki topik pembicaraan yang tepat. Perasaan bersalah Zia sangat besar menutupi kesetiannya terhadap persahabatan diantara mereka. Zia merasa sangat berdosa menyembunyikan kenyataan indah dari mata Rara. Pikirannya tiba-tiba teringat ketika pekan lalu mama Rara menemuinya dengan membawa koleksi tulisan Rara yang bertajuk untuk kartini. Mama Rara memintanya untuk mengirimkan tulisan Rara pada penerbit yang dulu sempat menawarkan untuk menerbitkan tulisan-tulisan Rara. Awalnya Zia bingung, namun setelah mama Rara menjelaskan bahwa selama ini ia tidak benar-benar mengacuhkan Rara, ia hanya sangat menyayangi Rara. Tapi, ia tidak ingin merubah pandangan Rara terhadapnya. Biarlah Rara tetap menganggapnya sebagai ibu yang tidak mempedulikan anaknya. Ia sudah sangat bahagia mengetahui Rara masih sangat menghormatinya, walaupun selama ini ia tidak pernah menyukai Rara dengan hobinya. Kini Zia mengerti. Satu hal lagi, mama Rara memintanya untuk menyembunyikan ini dari Rara. Dan hal inilah yang membuat batin Zia bergejolak.
Rara tak pernah mengetahuinya.
“Ra, sekali lagi maaf dan selamat ya. Mungkin lo butuh sendiri sekarang. Kalo gitu, gue pulang dulu ya. Jangan lupa 21 April grand launching buku pertama lo di sekolah, sesuai keinginan lo. Bye~”
Rara masih terdiam. Hatinya semakin bimbang. Ia tidak ingin menghadiri acara tersebut tanpa mamanya. Namun itu sangat tidak mungkin. Ia harus tetap datang karena itu acara miliknya, namun mamanya pasti tidak akan pernah mau datang. Dua hal yang bertentangan. Semakin membuat Rara sedih diantara burung-burung yang berkicau sore itu.
®®®
21 April 2011.
Pagi itu Rara menyendiri di taman yang biasa menemaninya dikala sepi. Sekolahnya diliburkan. Dua jam lagi, acara launching dimulai. Rara sudah rapi, namun hatinya belum mantap untuk hadir seorang diri. Tadi pagi sebelum pergi ke taman, Rara sempat memohon pada mamanya untuk menghadiri acara launching buku pertama Rara, namun hasilnya masih sama seperti puluhan permintaan Rara sebelumnya. Tidak. Maka Rara memutuskan untuk pergi ke taman ini. memantapkan dirinya untuk hadir seorang diri. Tanpa mamanya.
Disisi lain, mamanya sedang bersiap menghadiri launching buku pertama Rara. Ia merasa sangat bangga memiliki seorang gadis sulung yang sudah mampu membuktikan semua prestasinya diantara berbagai halangan. Ia ingin memberikan kejutan di hari yang bersejarah ini.
Satu jam berlalu. Tangan Rara sejak tadi sibuk menuliskan puisi untuk mamanya diatas selembar kertas manis berwarna merah muda. Rara berniat membacakan puisi itu dalam acaranya nanti. Berharap mamanya akan memberikan senyuman bangga untuknya di hari Kartini ini. Rara melipat kertas itu dan menggenggamnya erat. Hatinya telah mantap, mamanya datang atau tidak, ia akan tetap hadir mempersembahkan yang terbaik dalam acaranya. Puncak awal atas usahanya selama ini.
Rara berjalan menuju sekolahnya dengan perasaan yang lebih tenang dari tadi pagi. Ia berusaha menaklukan jalanan yang ramai oleh kendaraan yang lalu lalang. Jalan menuju sekolahnya memang agak rumit. Rara harus bersabar menunggu sampai jalanan agak sepi untuk dapat ia sebrangi.
Sesaat kemudian, Rara melihat sesosok perempuan mirip mamanya di koridor SMA Nusantara dari sebrang. Rara tak sabar untuk memastikan. Langkahnya terayun begitu saja. Tanpa disadari, sebuah mobil pribadi berwarna hitam melaju sangat kencang hingga menabrak Rara yang berjalan begitu saja. Tubuh Rara terpelanting. Darah mengalir deras. Tangannya masih menggenggam kertas berwarna merah muda. Sosok wanita yang menurut Rara adalah mamanya, berlari menghampiri tubuh Rara yang berlumuran darah. Orang-orang disekitar turut menghampiri hingga tubuh Rara terkepung lautan manusia yang melihat. Tak terkecuali Zia, sahabat setia Rara yang baru saja sampai.
“Raraaa…” teriaknya sedih.
Zia dan mama Rara terbalut oleh kesedihan. Air mata keduanya mengalir.
“Rara, maafin mama, nak. Selama ini mama nggak pernah buat kamu tersenyum.” Wanita itu menangis sejadi-jadinya ketika mendapati tubuh gadis sulungnya tak bernyawa lagi.
Zia yang juga tak dapat membendung kesedihannya membiarkan air matanya mengalir deras. Pandangannya tertuju pada sesuatu dalam genggaman Rara. Ia mengambilnya. Kemudian menyerahkannya pada mama Rara. Sebuah puisi.

Merindukan Senyum Sang Kartini
Gerimis turun perlahan
Menghapus lelah dari peraduan
Mendamaikan jiwa yang gamang
Sebab senja tak kunjung menjelang

Dalam duka, kita berguru pada hujan
Seperti air mencintai lautan

Ketika angin malam berhembus lembut
Gurat bahagia terpancar dari wajahnya
Meninggalkan duka…
Melepas gundah…

Namun, sang waktu merubah semua
Gurat bahagia, lautan tawa
Kini sirna tiada berbekas
Hanya tersisa bait-bait duka

Disini, masih ada lautan
Yang mencintai airnya sepenuh hati
Masih ada bulan
Yang selalu menanti kehadiran sang bintang

Seperti itulah aku menyayangimu
Tak akan kurang meski waktu
Kian merengkuh hati yang pilu,
Tersenyumlah kembali, KARTINIKU…


April 23, 2011

kleines Konzert besondere




Malam itu Zahra termenung dalam balutan sepi ditemani angin malam yang berhembus lembut. Raganya terduduk diatas trampoline di pekarangan rumah yang luas. Namun pikirannya menerawang dalam batin Samudra, kekasihnya yang berada jauh darinya. Samudra, lelaki yang selama ini menyita seluruh perhatian Zahra kini berada di Jakarta. Dua tahun lalu, sebelum kepergiannya Samudra sempat berjanji akan kembali menemui Zahra memberikan kado terindah tepat di usia ke 27 yang jatuh 3 hari lagi. Zahra tak pernah tahu apa kado terindah yang akan ia dapatkan dari Samudra. Namun, tiga bulan terakhir Samudra hilang tanpa kabar begitu saja. Zahra sudah mencoba menghubungi teman-temannya, berharap mendapatkan sepercik kabar gembira. Namun, nihil… tak satupun mengetahui kabar Samudra. Bahkan, ada yang bilang Samudra telah kembali ke Surabaya karena akan menikah dengan wanita yang sangat dicintainya. Zahra bingung sekaligus sedih. Kenapa tiga bulan terakhir Samudra tidak pernah memberikan kabar padanya. Bahkan kalau memang benar Samudra telah menikah, Zahra akan merelakan laki-laki yang sangat dicintainya itu.
Malam bertambah larut. Zahra masih duduk diatas trampoline. Sendirian. Ia hanya bertemankan ponsel biru muda yang tak pernah berdering sejak sore. Zahra membayangkan pertemuannya kembali dengan Samudra seperti yang dijanjikan kala itu. Namun, ah… rupanya harapan itu harus dikuburnya dalam-dalam.
Zahra masuk kedalam kamar. Merebahkan diri, melepaskannya dari kepenatan menanti Samudra. Lelap…
¶¶¶
Pagi. Ponselnya mengalunkan nada dering yang indah. Ada panggilan masuk, dari Tania, kakak sepupunya yang baru tiba dari Surabaya.
“Hallo…”
“Za, nanti temenin kakak ke salon ya. Nanti malem ada dinner nih.”
“Males kak.”
“Ayolah, Za! Kakak tau kamu lagi sedih, tapi jangan memperburuk keadaan gitu dong. Pokoknya kamu harus mau temenin kakak ke salon!”
Terputus.
Ah, kak Tania ini ada-ada saja, pikir Zahra, mau dinner aja kok harus ke salon. Mau tidak mau Zahra harus menuruti keinginan kakak sepupu yang sangat ia sayangi itu.
Tanpa terasa, sedikit demi sedikit kesedihan Zahra akan Samudra mulai terlupakan dengan kesibukannya sepanjang hari itu.
¶¶¶
Malamnya.
“Kak, makasih ya udah ajak aku ke salon hari ini” ucap Zahra dengan senyuman paling manis hari itu,
“Oke sama-sama. Sekarang kamu ikut kakak ya.”
“Loh kok? Bukannya kakak mau dinner bareng tunangan kakak ya?” tanyanya.
“Udah deh, kamu ikut aja, kok bawel banget sih. Haha…”
 “Oke deh kak, tapi aku jangan disuruh jadi obat nyamuk ya.”
“Sipp.”
¶¶¶
“Kamu masuk duluan ya Za, nanti ada pelayan yang nganterin kamu kok.”
“Oke kak!” Zahra melangkahkan kakinya kedalam restoran minimalis yang terlihat sangat istimewa dengan penataan yang begitu rapi. Seorang pelayan yang ramah mengantarkannya menempati kursi kosong di sudut dekat jendela. Tak berapa lama, kedua matanya tertutup oleh sepasang tangan yang tidak ia kenali.
“Kak, jangan bercanda!” kata Zahra
“Ini aku.”
“…” Zahra bingung, ia merasa mengenali suara itu, namun sudah sangat lama ia tak mendengarnya secara langsung. Samudra. Ingin ia berkata seperti itu, namun hatinya melarang.
Lelaki itu melepaskan tangannya yang menutupi kedua mata Zahra. “Ini aku.” Ia mengulanginya.
“Samudra?” ucap Zahra kaget. Dugaannya benar.
“Iya. Maaf kalau selama ini aku membuatmu khawatir.” Ucapnya lembut. Meluluhkan perasaan Zahra yang berkecamuk.
“Kemana saja kamu selama ini?” Tanya Zahra berusaha menyembunyikan segala kepiluan hati yang selama ini ia rasakan.
“Tidak penting kemana aku selama ini. Sekarang, sebaiknya kamu ikut aku. Aku akan menepati janjiku.”
“Janji?” Zahra lupa akan kata janji yang dulu pernah diucapkan Samudra padanya. Musnah ketika ia mendapat kabar buruk tentang Samudra pecan lalu.
Keduanya keluar menuju mobil Samudra. Selama perjalanan, ia menjelaskan apa yang terjadi selama ini. Samudra membawanya ke sebuah tempat istimewa. Disana, Samudra mempersembahkan sebuah konser kecil untuk Zahra, sesuatu yang sangat Zahra inginkan. Konser kecil istimewa milik mereka berdua. Dan disanalah, Samudra melamar Zahra. Memintanya untuk menjadi pendamping hidup untuk selamanya. Juga mengutarakan niatnya untuk membawa Zahra hidup di Jerman, negara idamannya sejak di bangku kuliah.
Samudra berjanji akan mempersembahkan konser-konser istimewa lainnya di Jerman nanti. Untuk Zahra. Hanya untuk Zahra.
Malam itu, menjadi konser terindah dalam hidup Zahra. Sebuah konser kecil istimewa yang mengikatnya dengan seorang Samudra.
kleines Konzert besondere” ucap mereka bersamaan.
¶¶¶





Ini cerpen iseng buat ikut aktif di writing session. Maaf ya kalau agak maksa, abis ngga ada ide sihh...
bonne lecture!!!


sebuah cerpen


Assalamu’alaikum…

Malam ini gue berniat flashback memori indah waktu kelas x. Mungkin cuma gue yang menganggap pengalaman ini indah. Kenapa? Karena mereka (mungkin) udah punya pengalaman dan kesan-kesan lain yang (juga) indah, so… mereka lupa dengan kisah bareng gue.

Sejujurnya, gue kangen banget dengan moment kebersamaan ini. Tapi mau gimana lagi, mereka udah punya sahabat lain. Sedangkan gue? Cuma temen. Yak. Selamanya mereka anggap gue hanya sebagai teman. Tak apa lah, masih ada yang lain yang peduli sama gue kok, gue juga punya vegrasis, nia, dan teman baru yang (mencoba) ngertiin gue. Walaupun ngga bisa dilupain gitu aja, gue tetep menganggap kisah ini pernah terjadi dan pernah bikin gue tersenyum waktu bareng mereka.

Cerpen ini harusnya ngga ada. Loh? Karena cerpen ini gue bikin hanya karena alasan tugas mata pelajaran bahasa Indonesia aja. Kalau ngga ada tugas ini, mungkin cerpen ini…. ngga akan pernah tercipta. Waktu itu gue bingung banget mau bahas apa, tapi setelah liat chairmate gue(salah satu tokoh), jadi kepikiran buat bikin cerita ini. Maka, jadilah!

Pesan terakhir (?) maksudnya, gue berharap kalau aja salah satu tokoh ini baca, mereka bisa inget tentang kebahagiaan sementara ini.

Langsung aja, selamat membaca…………


“…”

Ayam berkokok, menandakan pagi telah menjemput. Mentari memanggil dari lubuk peraduannya. Dibalik jendela kaca, nampak seorang gadis berjilbab sedang berhias diri sambil bersenandung lemah. Suaranya terdengar ringan dan merdu, laksana angin yang berhembus dan menerbangkan gumpalan-gumpalan awan diatas sana.
Sebuah suara terdengar bergema dari balik tirai dapur. Suara seorang ibu yang menyuruh anaknya untuk menyantap sarapan yang telah terhidang di atas meja makan.
“Kak, sarapan dulu ya!” tutur lembut sang ibu.
“Iya, ma!” ujarnya penuh kegembiraan.
Beberapa saat kemudian, terdengar langkah mantap dari sudut ruangan rumah yang cukup luas. Kakinya terayun sempurna menapaki tiap-tiap anak tangga. Tangannya tergerak oleh hembusan angin yang bertiup sejuk. Bagai kilat, kini ia sudah berada dibalik meja makan dan menyantap hidangan yang tersedia.
Hari ini, jum’at 26 Februari 2010, merupakan hari gembira yang akan ia rasakan bersama empat kawan lainnya. Tepat pukul 09.00 WIB, rencananya mereka akan memulai penjelajahan di dunia wisata yang cukup terkenal dikotanya.
¨¨¨
Pukul 09.00 WIB
“Assalamu’alaikum.” Dua buah suara secara bersamaan terdengar. Suara yang pertama merupakan suara imut dari gadis berjilbab yang sejak pagi berhias diri, yaitu Lestari, atau yang akrab disapa “acil” karena posturnya yang memang kecil. Ia merupakan satu dari tiga murid akselerasi di sekolah tersebut. Suara yang lain dimiliki gadis berjilbab disebelahnya, Dinda.
“Wa’alaikumsalam.” Jawab sang empunya rumah, Indah, diikuti Fany.
“Rinda mana?” Tanya gadis mungil itu tak sabar.
“Masih di jalan.” Jawab Fany singkat.
Sambil menunggu Rinda, gadis kecil itu duduk diatas sofa berwarna merah di rumah Indah, tempat yang mereka sepakati sebagai tempat berkumpul sebelum berangkat.
“Assalamu’alaikum.” Sebuah salam terucap oleh seorang gadis berjilbab abu-abu dibalik pintu, Rinda.
“Wa’alaikumsalam.” Gadis-gadis di dalam rumah menjawab dengan serempak.
“Udah kumpul kan? Kita berangkat sekarang yuk!” ajak gadis mungil itu bersemangat.
“Ayooo!” jawab Fany.
Kelima gadis itu segera berangkat dengan mengguakan jasa Trans Jakarta. Setelah dua kali transit dan beberapa kali mengalami krisis tempat duduk, gadis mungil itu tetap bersemangat dan tidak sedikitpun kehilangan niatnya untuk bersuka cita bersama empat orang kawan lainnya.
¨¨¨
“Yeay, akhirnya sampe juga. Kita mau menjelajah dimana dulu nih? Bianglala yuk!” ucapnya dengan suara cempreng sambil menunjuk ke arah bianglala.
“Boleh!” jawab gadis tinggi yang berada tepat disebelahnya.
Akhirnya, mereka berlima memulai suka cita dengan menaiki wahana bianglala. Setelah itu, mereka menjelajah berbagai wahana yang tak kalah menarik dan menantang adrenalin lainnya.
Siang mulai terik, gadis itu baru saja keluar dari wahana rumah kaca. Nampak terlihat ia dirangkul oleh gadis berambut panjang sebahu dan bergelombang. Fany namanya. Fany menarik gadis itu menuju salah satu wahana air, diikuti tiga orang yang lain dibelakang mereka berdua. Antrian yang cukup panjang membuat mereka berlima merasa penat. Setelah antrian semakin renggang, gadis kecil itu menyadari dimana ia berada, yaitu wahana Niagara. Sedetik kemudian wajahnya berubah kusut. Tak seulas senyumpun yang ia tampakkan. Tatapan matanya garang. Rupanya ia sangat tidak suka dengan wahana itu., namun Dinda, Fany, Indah, dan Rinda terus membujuknya untuk mencoba.
Wajah mungilnya terlipat manja menjadi 12 bagian. Sepertinya, ia benar-benar kesal dengan peristiwa itu. Peristiwa ia menaiki wahana air Niagara karena dipaksa. Bahkan, butuh waktu agak lama untuk menyembuhkannya dari kekesalan.
“Udah dong, cil ngambeknya. Maaf ya!” kata Dinda
“…” sunyi
“Acil, jangan diem aja dong. Mau es krim?” Tanya Fany.
Menggeleng.
“Acil mau apa?” Tanya Dinda lagi.
“Arung jeram.” Ucapnya samar.
Rinda menyahut, “Oh, jadi acil mau ke Arung jeram?!”
Mengangguk.
Mereka berlima segera menuju wahana arung jeram. Tawa mereka terdengar membahana melawan arus sungai. Tak terkecuali gadis itu. Ia juga mulai melupakan kekecewaannya yang lalu. Kini, senyum-senyum terpancar dari kelima gadis SMA tersebut. Berjuta tawa tersirat dari wajah mungilnya. Dibalik kerudung putihnya, ia masih sempat melemparkan senyum centil setengah menggoda kepada Dinda disebelahnya.
Kelima gadis itu kembali kerumah pukul 18.43 WIB. Di wajahnya, Nampak dihiasi oleh garis-garis lelah. Namun dibalik itu semua, masih ada senyuman manis yang tersirat dari bibir mungilnya.
¨¨¨

Berhubung cerpen ini belum ada judulnya, berharap banget teman-teman yang baca bisa kasih saran judul yang tepat. Komen langsung atau mention ke @nitalaras #ngarep.

Ditunggu yaaa….

Vielen dank!