...aku menari bersama senja diiringi nyanyian hujan yang membekukan... ..

☂☂☂

April 26, 2011

Menulis untuk Kartini



“Ma, besok pagi Rara minta uang ya buat beli buku,” ucap Rara memelas kepada mamanya usai makan malam.
“Buku apa lagi sih Ra?” Kamu itu selalu minta dibelikan buku. Tiap ada ‘book fair’ juga selalu ingin datang.” Kata mamanya agak kesal. Gadis sulungnya itu selalu menyukai hal-hal yang jarang disukai remaja seusianya. Pergi ke mall saja bukan untuk beli baju, tapi selalu buku bacaan yang dibelinya. Bukannya tidak suka, tapi wanita paruh baya yang masih terlihat cantik itu khawatir anaknya akan menyesal tidak sempat menjalani kehidupan sebagai remaja biasa yang diberi kebebasan. Tapi untung saja, penampilan Rara tidak terlihat jauh berbeda dengan remaja lainnya –meskipun Rara tidak pernah sekalipun memasuki salon tertentu untuk melakukan perawatan khusus, karena Rara memang tidak suka–.
Rara mendengus kesal, “tapi kan mama belum pernah mewujudkannya satu pun”, kali ini nada bicara Rara berubah agak meninggi.
“Ya, memang mama tidak akan penuhi semua yang berhubungan dengan hobi kamu itu. Mama hanya memberi kamu uang jajan setiap pagi. Lalu terserah kamu, mau kamu gunakan untuk apa uang itu.” Kata mama Rara sambil bangkit dari duduknya.
Rara merasakan sesuatu yang aneh. Kenapa mamanya tidak mendukung hobi positif Rara? Berbagai prasangka memenuhi benak Rara. “Ah, sudahlah. Lihat saja suatu saat kelak aku akan menjadi penulis yang sukses. Dan mama pasti bangga.” Rara bergumam pelan.
®®®
Sejak saat itu, Rara semakin giat menekuni hobinya menulis. Hubungan dengan mamanya-pun telah kembali seperti biasa. Meskipun sejujurnya masih ada perasaan lain dalam hati Rara. Namun ia berusaha menyimpannya rapat-rapat, khawatir ada yang tahu. Ia telah berkomitmen dengan dirinya sendiri, bahwa ia akan tetap menekuni hobinya dengan serius, sekalipun wanita yang dicintainya tidak akan pernah mendukung penuh. Rara memang terbiasa melakukan segala hal sendiri. Sejak tumbuh sebagai remaja belia, Rara menyadari bahwa perlakuan mamanya kepada Rara dan Lala, adiknya, sangat berbeda. Namun hal itu hanya dipendamnya dalam hati. Tak pernah Rara berniat untuk mengungkapkannya, bahkan pada buku hariannya sekalipun. Meski begitu, Rara sangat mencintai mamanya.
“Astaghfirullah, ya Allah maafin Rara yang berprasangka lagi sama mama,” gumam Rara menyadari kekeliruan dirinya.
®®®
Disekolah, Rara tumbuh sebagai remaja belia yang sangat menggemari dunia buku, baca, dan tulis-menulis. Ia sangat ingin kelak bisa menjadi penulis hebat. Kecintaannya tersebut membuatnya rela tidak menjamah kantin sekolah demi mengumpulkan uang untuk membeli buku bacaan dan menjelajahi berbagai event book fair yang menarik perhatiannya.
Meskipun dunia hobi Rara berbeda dengan teman-temannya kebanyakan, Rara mampu bersosialisasi dengan baik di lingkungan belajarnya. Hanya disanalah Rara memperoleh senyum dan semangat untuk terus mengembangkan hobinya.
®®®
Rara menapaki anak tangga SMA Nusantara satu demi satu. Melangkah mantap menuju ruang kelasnya di lantai tiga. Ketika hendak mengambil posisi duduk di baris kedua dekat tembok, tiba-tiba ada yang menepuk pundaknya dari belakang. Menjatuhkan buku bacaan yang ada di tangan kanan Rara.
“Ra, tumben baru dateng. Dari tadi gue nyariin lo mau ngasih ini.” Seorang gadis berambut ikal menyerahkan sebuah amplop cokelat pada Rara.
“Ini apa zi?”
“Baca aja Ra! Gue buru-buru nih mau ke kelas. Udah dulu ya, daah…” gadis yang disapa Zia itu berjalan meninggalkan Rara menuju kelasnya yang berada berdampingan dengan kelas Rara.
“Thanks, Zi.” Ucap Rara setengah berteriak mengingat langakh Zia yang sudah mencapai pintu kelas XI IPA 3. Rara duduk ditempatnya. Membuka amplop cokelat yang tadi diberikan Zia. Membaca tiap lembarnya dengan serius dan teliti.
Bel masuk SMA Nusantara berdering. Rara merapikan lembar-lembar yang baru saja dibacanya, kemudian memasukkannya ke dalam tas. Aroma wajahnya terlihat begitu cerah. Tangannya yang lincah mengambil ponsel berwarna ungu muda dari saku rok abu-abu, kemudian mengayunkan jemarinya mengetikkan sebuah pesan yang ditujukan untuk sahabatnya di kelas sebelah, Fauzia Larasati.
To: Zia
Zi, pulang sekolah gue tunggu di taman biasa ya. Merci.
®®®
“Zia, akhirnya lo dateng juga. Nih…” ucap Rara seraya menyodorkan map berwarna merah dan biru.
Zia yang sudah hafal perilaku sahabatnya itu langsung menerima kedua map yang disodorkan kemudian mengambil posisi duduk yang nyaman. Zia membaca isinya satu per satu.
Sementara Zia membaca kedua cerpen miliknya, Rara sibuk berkutat dengan pulpen dan buku kecil yang selalu dibawanya. Lima belas menit berlalu. Zia telah selesai membaca kedua cerpen Rara. “Bagus, Ra. Tapi kok lo cepet banget bikinnya? Kan baru tadi pagi gue kasih undangan lomba.”
“Iya, ini koleksi cerpen yang ada di flashdisk gue. Udah selesai lama kok. Tadi cuma gue edit sedikit disesuai-in sama persyaratan lomba.”
“Oh. Pantes tadi gue liat lo masuk lab. komputer, hari ini kan lo ngga ada jam-nya. Terus, kalo menang lagi uangnya mau lo apain Ra? Buat nyokap lo lagi?” tanya Zia dengan nada suara diperhalus, takut menyinggung perasaan sahabatnya itu. Rara memang sangat rapuh untuk hal-hal yang berkaitan dengan mamanya. Rara selalu merasa sedih bila mengingat perlakuan mamanya yang tidak pernah menyukai hobi menulisnya itu. Padahal, sudah sangat sering Rara menjuarai perlombaan, dan hadiahnya selalu dipersembahkan untuk mamanya. Namun, mama Rara tetap saja tidak peduli.
“Iya, Zi.” Jawab Rara mendadak lemas.
“Gue salut sama lo, Ra. Lo nggak pernah capek berusaha meluluhkan perasaan nyokap lo yang jelas-jelas ngga suka kalo lo nulis. Bahkan, bukannya bangga, tapi lo justru dimarahin tiap menang lomba.”
“Tapi gue percaya kok, Zi, suatu saat mama pasti dukung hobi dan cita-cita gue ini.”
“Semangat terus ya, Ra. Gue selalu dukung lo kok.”
“Yaudah, sekarang temenin gue daftar ya. Sekalian ngumpulin cerpen ini.”
“Tapi batas waktunya kan masih seminggu lagi. Cerpen ini udah final? Mana yang mau lo kirim buat lomba? Persyaratannya emang udah siap semua?”
“Gue kirim yang ini, Zi”, ucap Rara seraya menunjukkan map berwarna merah dan memasukkan map biru ke dalam tasnya, “persyaratannya gampang kok, cuma butuh surat keterangan dari sekolah aja, tadi langsung gue urus dan sekarang udah dapet.”
“Kok cepet?”
“Iya, gue minta bantuan Bu Marini.”
“Oke deh. Mau berangkat kapan?”
“Sekarang yuk, tapi gue kabarin mama dulu.”
“Sipp.”
Rara mengambil ponselnya kemudian mengetikkan sesuatu.

To: Mama
Aslm. Ma, Rara pulang telat hari ini. Ada rapat.
Ma, maaf ya Rara harus bohong lagi sama mama’ Rara bergumam. Ia memandangi layar ponselnya. Berharap ada balasan. Namun, nihil… Tak ada balasan. Ia memasukkan kembali ponselnya dalam saku rok abu-abu, kemudian berjalan mengikuti sahabatnya yang sudah beranjak sejak beberapa detik.
®®®
Dua pekan kemudian, pemenang lomba cerpen diumumkan. Rara juara lagi. Kemudian ia buru-buru pulang kerumah untuk memberitahukan kabar ini pada mamanya.
“Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumsalam.”
“Ma, ini hadiah lomba cerpen. Rara baru aja menang lagi.”
“Kamu masih sering ikut lomba cerpen? Udah berapa kali sih mama bilang, kalau mama ngga suka kamu nulis. Lupain lah hobi menulis kamu itu. Kamu sekolah aja yang serius.”
“Tapi kenapa ma? Bukannya prestasi Rara dikelas juga ngga buruk? Kenapa mama tetep ngga izinin Rara dengan hobi menulis?” emosi Rara mulai muncul, namun ia berusaha menutupi dengan ketenangannya.
“Apapun alasannya, mama tetap ngga akan pernah suka dengan hobi kamu itu. Sudah, sana masuk kamar!” ucap mamanya agak membentak.
Rara kecewa, hati mamanya masih belum tersentuh dengan segala prestasi yang telah diraihnya susah payah. Langkahnya lesu menuju kamarnya di lantai dua. Kesedihannya telah mencapai puncak. Ia tidak mampu menyimpannya sendiri. Ia segera menghubungi Zia…
“Zi…”
“Iya, Ra.” Sahut suara diseberang.
“…” Rara terdiam.
“Kenapa Ra? Nyokap lo masih belum bisa suka dengan hobi lo ya?” Zia menebak.
“Iya, Zi. Gue bingung harus gimana lagi. Andai aja sekarang gue tinggal sama bokap. Pasti beliau dukung hobi gue. Sayangnya bokap lebih milih tinggal di Bandung.”
“Sabar aja ya, Ra. Kan lo yang bilang sendiri. Suatu saat nyokap lo pasti dukung hobi lo itu. Yang penting lo terus buktiin ke nyokap, kalau lo patut dibanggakan.”
“Zi… Sekarang gue mulai ngerasa capek buat buktiin itu ke nyokap.”
“Kenapa?”
“Rasa sabar gue udah ngga ada lagi. Padahal gue selalu menghargai nyokap dengan semua larangannya tentang hobi gue. Gue berusaha tetap kuat walaupun harus sembunyi-sembunyi ngejalanin hobi ini.”
“…”
“Gue ngga mau nyusahin lo terus Zi.”
“Gue ngga….”
Rara segera memotong, “Lo emang sahabat terbaik gue, Zi. Walaupun hampir setiap hari gue kerumah lo cuma buat nenangin diri. Entah itu untuk nulis ataupun nenangin diri dari masalah dirumah. Makasih banyak ya, Zi.”
“Ra, lo harus tetep kuat. Bukannya sahabat gue selalu kuat?”
“Tahun baru yang lalu, gue pulang bawa piala juara nasional. Hari kartini, gue berhasil juara lomba karya tulis. Ulang tahun nyokap, gue mempersembahkan uang hadiah lomba cerpen yang gue anggap hasil jerih payah pertama gue. Awal semester lalu, gue terpilih sebagai perwakilan dari sekolah dalam event besar. Hari ibu, gue kasih kumpulan puisi dan tulisan indah yang hampir terbit tapi gue tolak, buat nyokap. Terakhir, juara umum lomba cerpen kartini. Semua itu buah dari hobi menulis gue. Tapi satupun ngga ada yang dilirik sama nyokap gue. Dia cuek aja. Gue ngerasa ngga dianggep dirumah. Capek, Zi…” tak terasa air mata Rara menitik di pipinya.
“Ra, biar gimanapun, beliau tetap nyokap lo. Dia sayang kok sama semua anaknya. Percaya deh sama gue. Dia mau yang terbaik untuk anak-anaknya.”
“Yang terbaik? Apa yang terbaik menurutnya dengan melarang gue dengan hobi nulis?”
“Nyokap lo pasti punya alas an lain. Suatu saat mungkin lo akan tau itu. Yang penting lo harus yakin sama diri sendiri. Lanjutin hobi lo! Suatu saat pasti luluh kok, kalau lo sungguh-sungguh.”
Air mata Rara tak terbendung lagi.
“Sekarang lo istirahat, ya. Masih banyak cara kok buat lo yakinin nyokap kalau lo patut dibanggakan.”
“Thanks ya, Zia!”
“Sama-sama.”
Telepon terputus. Rara bergerak menuju meja belajarnya sambil memegangi dadanya yang tiba-tiba sesak. Mulai sibuk kembali dengan alat tulisnya. Ia mencurahkan segala isi hatinya dalam goresan-goresan indah diatas kertas berupa cerita dan puisi. Tentang mamanya. Tentang betapa rindunya ia terhadap dukungan mamanya dengan hobinya menulis. Tentang perasaannya yang begitu mencintai dan menghargai mamanya, sepenuh hati.
Rara terlelap dalam sedih. Kepalanya tersandar lemah diatas meja belajar. Masih terlihat bekas air mata di pipinya. Raut wajahnya sepi, namun penuh harap. Mamanya masuk kedalam kamar Rara yang tak terkunci. Memandangi gadis sulungnya yang terlelap sedih. Ia melihat kearah kertas-kertas penuh tulisan yang berserakan disekitar meja belajar, kemudian mengambilnya dan membacanya. Tak berapa lama, kertas-kertas itu dikembalikannya pada tempat semula.
“Maafin mama ya, Ra.” Ucapnya lemah. Tubuhnya berbalik. Keluar dari kamar Rara dengan berjuta perasaan bersalah.
Rara tak pernah mendengar itu.
®®®
Seuntai musik merdu mengalun lembut dari ponsel berwarna ungu. Menandakan bahwa sebuah pesan telah masuk. Membuyarkan lamunan Rara ditengah hamparan taman yang hijau.

Sender    :   Zia
Received :   03:49:38 pm [2.Apr.2011]
Raraaa… Selamat yaa, kumpulan kisah kartini lo lulus seleksi. Dua minggu lagi terbit. 21 April launching. Sekali lagi selamat ya sahabatku yang paling hebat dan selalu membanggakan J

Rara menutup pesan tanpa membalasnya terlebih dahulu. Hatinya merasa hampa. Buat apa kisah kartini karyanya terbit kalau orang istimewa yang ingin ia persembahkan tak pernah menyukainya.
Ditengah kesediriannya di taman, Zia datang. Zia merasa tidak pantas kalau tidak mengucapkan maaf dan selamat secara langsung.
“Rara…” sapanya.
“Eh, Zia. Kok tau gue disini?”
“Sahabat macem apa kalo ngga tau kebiasaan sahabatnya sendiri.” Lanjutnya mencairkan suasana yang dirasa ‘sedikit’ agak kaku.
“Oh, iya.”
“Sekali lagi gue minta maaf ya, Ra. Gue ngga bilang-bilang dulu waktu kirim koleksi kisah kartini lo.”
“Iya nggak apa-apa kok.” Jawab Rara masih kaku.
“Selamat juga ya!”
“Makasih.”
“…” Zia mendadak tidak memiliki topik pembicaraan yang tepat. Perasaan bersalah Zia sangat besar menutupi kesetiannya terhadap persahabatan diantara mereka. Zia merasa sangat berdosa menyembunyikan kenyataan indah dari mata Rara. Pikirannya tiba-tiba teringat ketika pekan lalu mama Rara menemuinya dengan membawa koleksi tulisan Rara yang bertajuk untuk kartini. Mama Rara memintanya untuk mengirimkan tulisan Rara pada penerbit yang dulu sempat menawarkan untuk menerbitkan tulisan-tulisan Rara. Awalnya Zia bingung, namun setelah mama Rara menjelaskan bahwa selama ini ia tidak benar-benar mengacuhkan Rara, ia hanya sangat menyayangi Rara. Tapi, ia tidak ingin merubah pandangan Rara terhadapnya. Biarlah Rara tetap menganggapnya sebagai ibu yang tidak mempedulikan anaknya. Ia sudah sangat bahagia mengetahui Rara masih sangat menghormatinya, walaupun selama ini ia tidak pernah menyukai Rara dengan hobinya. Kini Zia mengerti. Satu hal lagi, mama Rara memintanya untuk menyembunyikan ini dari Rara. Dan hal inilah yang membuat batin Zia bergejolak.
Rara tak pernah mengetahuinya.
“Ra, sekali lagi maaf dan selamat ya. Mungkin lo butuh sendiri sekarang. Kalo gitu, gue pulang dulu ya. Jangan lupa 21 April grand launching buku pertama lo di sekolah, sesuai keinginan lo. Bye~”
Rara masih terdiam. Hatinya semakin bimbang. Ia tidak ingin menghadiri acara tersebut tanpa mamanya. Namun itu sangat tidak mungkin. Ia harus tetap datang karena itu acara miliknya, namun mamanya pasti tidak akan pernah mau datang. Dua hal yang bertentangan. Semakin membuat Rara sedih diantara burung-burung yang berkicau sore itu.
®®®
21 April 2011.
Pagi itu Rara menyendiri di taman yang biasa menemaninya dikala sepi. Sekolahnya diliburkan. Dua jam lagi, acara launching dimulai. Rara sudah rapi, namun hatinya belum mantap untuk hadir seorang diri. Tadi pagi sebelum pergi ke taman, Rara sempat memohon pada mamanya untuk menghadiri acara launching buku pertama Rara, namun hasilnya masih sama seperti puluhan permintaan Rara sebelumnya. Tidak. Maka Rara memutuskan untuk pergi ke taman ini. memantapkan dirinya untuk hadir seorang diri. Tanpa mamanya.
Disisi lain, mamanya sedang bersiap menghadiri launching buku pertama Rara. Ia merasa sangat bangga memiliki seorang gadis sulung yang sudah mampu membuktikan semua prestasinya diantara berbagai halangan. Ia ingin memberikan kejutan di hari yang bersejarah ini.
Satu jam berlalu. Tangan Rara sejak tadi sibuk menuliskan puisi untuk mamanya diatas selembar kertas manis berwarna merah muda. Rara berniat membacakan puisi itu dalam acaranya nanti. Berharap mamanya akan memberikan senyuman bangga untuknya di hari Kartini ini. Rara melipat kertas itu dan menggenggamnya erat. Hatinya telah mantap, mamanya datang atau tidak, ia akan tetap hadir mempersembahkan yang terbaik dalam acaranya. Puncak awal atas usahanya selama ini.
Rara berjalan menuju sekolahnya dengan perasaan yang lebih tenang dari tadi pagi. Ia berusaha menaklukan jalanan yang ramai oleh kendaraan yang lalu lalang. Jalan menuju sekolahnya memang agak rumit. Rara harus bersabar menunggu sampai jalanan agak sepi untuk dapat ia sebrangi.
Sesaat kemudian, Rara melihat sesosok perempuan mirip mamanya di koridor SMA Nusantara dari sebrang. Rara tak sabar untuk memastikan. Langkahnya terayun begitu saja. Tanpa disadari, sebuah mobil pribadi berwarna hitam melaju sangat kencang hingga menabrak Rara yang berjalan begitu saja. Tubuh Rara terpelanting. Darah mengalir deras. Tangannya masih menggenggam kertas berwarna merah muda. Sosok wanita yang menurut Rara adalah mamanya, berlari menghampiri tubuh Rara yang berlumuran darah. Orang-orang disekitar turut menghampiri hingga tubuh Rara terkepung lautan manusia yang melihat. Tak terkecuali Zia, sahabat setia Rara yang baru saja sampai.
“Raraaa…” teriaknya sedih.
Zia dan mama Rara terbalut oleh kesedihan. Air mata keduanya mengalir.
“Rara, maafin mama, nak. Selama ini mama nggak pernah buat kamu tersenyum.” Wanita itu menangis sejadi-jadinya ketika mendapati tubuh gadis sulungnya tak bernyawa lagi.
Zia yang juga tak dapat membendung kesedihannya membiarkan air matanya mengalir deras. Pandangannya tertuju pada sesuatu dalam genggaman Rara. Ia mengambilnya. Kemudian menyerahkannya pada mama Rara. Sebuah puisi.

Merindukan Senyum Sang Kartini
Gerimis turun perlahan
Menghapus lelah dari peraduan
Mendamaikan jiwa yang gamang
Sebab senja tak kunjung menjelang

Dalam duka, kita berguru pada hujan
Seperti air mencintai lautan

Ketika angin malam berhembus lembut
Gurat bahagia terpancar dari wajahnya
Meninggalkan duka…
Melepas gundah…

Namun, sang waktu merubah semua
Gurat bahagia, lautan tawa
Kini sirna tiada berbekas
Hanya tersisa bait-bait duka

Disini, masih ada lautan
Yang mencintai airnya sepenuh hati
Masih ada bulan
Yang selalu menanti kehadiran sang bintang

Seperti itulah aku menyayangimu
Tak akan kurang meski waktu
Kian merengkuh hati yang pilu,
Tersenyumlah kembali, KARTINIKU…


Tidak ada komentar: