...aku menari bersama senja diiringi nyanyian hujan yang membekukan... ..

☂☂☂

Desember 07, 2014

Kagumku Kagum yang Tidak Biasa

Pada masa aku menjalani waktu yang hampa dengan raga teramat biasa, seolah ada percikkan cahaya. Cahaya yang menjaga, mengarahkan, menginspirasi.

Semula kuanggap biasa saja. Bahkan mungkin cenderung tak berniat kugubris. Hanya kujalani apa adanya dan sepatutnya. Sampai tiba sebuah rasa. Rasa yang bukan apa-apa. Rasa yang tidak bernama. Bukan sayang, apalagi cinta. Hanya seperti damai saja.

Sayangnya, sepeninggal waktu yang semakin menjauh, aku terlalu percaya diri akan balasan rasa yang lebih dari sama. Entah benar, entah salah. Hanya sang pemilik rasa dan Tuhan yang mengetahuinya.

Dan aku masih bertahan, dengan rasa yang sama.
Menanti kepastian, dengan kenyataan: hendaknya kita mendekatkan diri kepada Tuhan, masing-masing.


Jakarta, 08 Agustus 2014 | N

Desember 03, 2014

Terima Kasih, Ma...

Dok. Pribadi

Ini adalah bentuk kasih sayang yang tiada pernah terbandingkan.
Kecil, namun teramat berarti.
Sebab ketulusannya mampu mengalahkan segala hasrat bermanja.
Entah bangun, terbangun, atau belum beranjak tidur.

Ialah mama...
Yang meneguhkan kakinya untuk berdiri dan menghampiri kamar anaknya di sebuah sudut gubuk kecil nan indah.
Membawakan bentuk kepedulian kecil bersama momen yang agung.
Tak sering ini berulang.
Tak jarang ini terlewat.

Maaf aku mengganggu tidur lelapmu.
Aku pikir ini hanya terbatuk sesekali.
Namun justru mengalihkan hadap tidurmu pada raga yang tergerak bangun.
Maaf aku membuatmu khawatir pada gulita langit beberapa malam belakangan ini.

Terima kasih, Ma.
Bukan untuk obat yang kau berikan.
Tapi momen yang kau ciptakan.
Sekalipun sebenarnya kita berdua sama-sama dalam kantuk yang bergerak menjalar, hingga tak banyak kata yang saling terlontar.
Namun tetaplah saja......
Momen itu sudah terwujud.
Angin malam pun mengangguk menyetujuinya.


Jakarta, 03 Desember 2014 | N 

Saya, Idealis Penyelaras

Tipe Idealis Penyelaras dikenali dari kepribadiannya yang kompleks dan memiliki begitu banyak pemikiran dan perasaan. Mereka orang-orang yang pada dasarnya bersifat hangat dan penuh pengertian. Tipe Idealis Penyelaras berharap banyak pada diri mereka sendiri dan orang lain. Mereka memiliki pemahaman yang kuat tentang sifat-sifat manusia dan seringnya menilai karakter dengan sangat baik. Namun mereka lebih sering menyimpan perasaan dan hanya mencurahkan pemikiran serta perasaan mereka kepada sedikit orang yang mereka percaya. Mereka sangat terluka jika ditolak atau dikritik. Tipe Idealis Penyelaras menganggap konflik sebagai situasi yang tidak menyenangkan dan menyukai hubungan harmonis. Namun demikian, jika pencapaian sebuah target tertentu sangat penting bagi mereka, mereka dapat dengan berani mengerahkan seluruh tekad mereka hingga cenderung keras kepala.

Tipe Idealis Penyelaras memiliki fantasi yang hidup, intuisi yang nyaris seperti mampu membaca masa depan, dan seringkali sangat kreatif. Begitu berkutat dengan sebuah proyek, mereka melakukan dengan segala daya upaya untuk mencapai tujuan-tujuan mereka. Dalam kehidupan sehari-hari, mereka sering membuktikan diri sebagai pemecah masalah ulung. 
Mereka suka mendalami hingga ke akar permasalahan dan memiliki sifat ingin tahu alamiah serta haus akan pengetahuan. Pada saat bersamaan, mereka berorientasi praktis, terorganisir dengan baik, dan siap menangani situasi-situasi rumit dengan cara terstruktur dan pertimbangan matang. Ketika mereka berkonsentrasi pada sesuatu, mereka melakukannya dengan seratus persen--mereka sering begitu terbenam dalam sebuah pekerjaan sehingga melupakan hal lain di sekitar mereka. Itulah rahasia kesuksesan profesional mereka yang seringkali gilang-gemilang.

Sebagai pasangan, tipe Idealis Penyelaras setia dan dapat diandalkan; hubungan permanen sangat penting bagi mereka. Mereka jarang jatuh cinta hingga mabuk kepayang dan juga tidak menyukai hubungan-hubungan asmara singkat. Kadang-kadang mereka sulit menunjukkan rasa sayang mereka dengan jelas sekalipun perasaan mereka dalam dan tulus

Dalam hal lingkaran pertemanan, semboyan mereka adalah: sedikit berarti lebih banyak! Sejauh menyangkut kenalan baru, mereka hanya dapat didekati hingga jarak tertentu; mereka lebih suka mencurahkan tenaga ke dalam pertemanan akrab yang jumlahnya sedikit. Tuntutan mereka kepada teman dan pasangan mereka sangat tinggi. Karena mereka tidak menyukai konflik, mereka akan diam sejenak sebelum menyuarakan masalah-masalah yang tidak memuaskan dan ketika melakukannya, mereka berusaha sangat keras untuk tidak menyakiti siapapun karenanya.

Sumber

Desember 02, 2014

Aku Lupa...

Aku lupa caranya menari diatas barisan huruf yang pada periode silam setia menemaniku.
Pagi hingga terik...
Senja sampai gulita...
Ketika itu aku masih setia menyapanya.
Tak ada satu hari pun yang terlewat, bahkan untuk satu baris.
Pasti ada
Dan selalu ada.
Kini aku merindunya.
Kesenangan yang mampu selalu mendamaikan.

Aku lupa bagaimana caranya menyiasati coretan demi coretan menjadi frasa yang mampu berkembang biak lebih baik.
Lembar demi lembar yang biasanya kuhabiskan untuk menciptanya.
Kini tiada...
Entah tak mampu, entah tak bisa..
Ah, apa bedanya?
Entahlah.... Pun aku juga tak memahaminya kenapa.

Sumber: dari sini
Yang aku tahu hanya satu,
bahwa aku lupa....
Aku merasa lupa...


Jakarta, 02 Desember 2014 | N

Agustus 08, 2014

Muntah.

Ada yang aneh
Ada yang sakit
Fisik dan batin, semuanya tidak sehat

Mungkin lelah
Ya.
Lelah dengan semua ini
Lelah dengan apa yang ada disekitar
Lelah sampai muak
Lelah sampai bosan

Terjejali setiap waktu
Sampai ingin dimuntahkan


Jakarta, 08 Agustus 2014 | N

Kepadanya.

Dok. Pribadi

Kepadanya, kumanjakan rasa ini. Rasa yang tumbuh-hilang, namun menggalaukan. Rasa yang kuyakini sejak awal meski perih yang pada akhirnya justru meraba-raba. Perih-pedihnya masih akan selalu terasa, namun apa daya aku harus tau diri: akan sesuatu yang kujanjikan di awal.
Bahwa takkan pernah ada sesal, bagaimanapun dalam sakitnya.
Bahwa aku harus rela menjaga, yang dipikirnya tak perlu aku yang menjaga.
Bahwa ternyata aku bukan siapa-siapa, dan takkan pernah sebagai apa-apa atas apapun yang pernah ada.
Semuanya lenyap-hilang-musnah begitu saja. Berbalik 180 derajat. Oke, tak apa. Sudah dikatakan di awal, aku harus rela. Bagaimanapun.
Sampai pada akhirnya aku betul-betul nyata belajar bahwa: menjadi ikhlas dan sabar itu luar biasa :')

Jakarta, 08 Agustus 2014 | N


Kepada Diriku yang Bodoh

Entah sudah berapa lama aku seperti ini.
Merasakan perih tiada berperi yang tak kunjung henti.
Semakin hari selalu ada alasan untuk aku bangkit, namun kemudian jatuh lagi.
Kamu lagi.
Karena kamu lagi.
Dan selalu kamu lagi.

Kau berhasil mengiris hatiku tipis-tipis, sampai tak lagi mampu kukenali diriku sendiri.
Aku sudah kacau balau.

Mungkin kamu tak pernah tahu,
bahwa aku belum lagi mampu berdiri seutuhnya
bahwa aku teramat lemah untuk menghindari yang pernah ada
bahwa aku..... ah, sudahlah. Bukankah semua ini tak lagi penting untuk kau ketahui?
Sebab itulah aku pergi....



Jakarta, 08 Agustus 2014 | N

Juli 20, 2014

Hujan Ayahanda.

Tuhan, tolonglah...
Sampaikan sejuta sayangku untuknya
Ku trus berjanji
Takkan khianati pintanya

Ayah dengarlah
Betapa sesungguhnya ku mencintaimu
Kan ku buktikan
Ku mampu penuhi maumu


Kepada hujan yang turun pada malam hari ini, jadilah saksi atas isak yang tak henti ini. Tentang betapa aku mencintai ayahanda segenap raga. Beliau lah satu-satunya alasan aku tetap tegar berdiri dan ada disini. Beliau yang mengajari aku teramat banyak hal berharga. Beliau yang membiasakan aku menggali makna.

Malam ini, tepat pada detik ini, beliau masih berada di bawahmu, wahai hujan. Entah apa lagi yang sedang ia perbaiki. Seolah tak pernah habis tenaganya. Maka padamulah aku memohon, jangan sirami beliau dengan air hujanmu yang membuatnya sakit. Siramilah dengan air hujanmu yang seolah menyuburkan semangatnya. Aku mohon.

Kepada semesta yang selalu ku cinta, jaga beliau dengan penuh cinta.


Salam sayang dari anak yang selalu isak kala mengingat jerihmu.

Juni 06, 2014

Hidup.

Hidup tak selalu semudah yang kita pikirkan.
Juga tak selalu sesulit yang kita keluhkan.

Mei 31, 2014

Salahkah?

Ada yang pernah tahu definisi "tulus" yang sebenarnya?
Saya rasa, tidak.
Tidak satupun pernah mengerti makna "tulus" yang sesungguhnya, sampai ia merasakannya sendiri: sebuah ketulusan rasa yang tak pernah mampu terdefinisikan secara sempurna.
Kemudian, mengapa ada manusia-manusia yang merasa bangga membahas hal tersebut? Bukankah dia tak pernah tahu bagaimana sebuah ketulusan menjalari nadi individu lain? Pun dirinya sendiri. Ya, ketulusan diri sendiri. Ada yang pernah mengerti? Saya pikir hanya sedikit. Kenapa? Karena tulus adalah hal yang paling sulit untuk didefinisikan di dunia ini. Sekali lagi saya ulang, sulit.
Maka, salahkah jika saya sedikit benci pada bahasan kata "tulus", apalagi jika sampai muncul judgement atas kata tersebut. Salahkah?

Mei 09, 2014

Manusia Bodoh

Ada lagu yang berjudul: "Manusia Bodoh".
Ada pula kisah yang bertajuk manusia bodoh.
Ada saja jika diadakan.

Banyak kecewa yang kemudian hilang, karena sayang.
Banyak marah yang kemudian padam, bukan karena muram.

Manusia

Bukankah pada dasarnya manusia dilahirkan sendiri: sebagai individu?
Apakah akan selamanya seperti itu, ketika berbagai harapan tumbuh tak beraturan namun tak mampu dicapai semuanya?

April 01, 2014

Tentang Hati

Bersandar ku pada hening suasana yang selalu kujumpai. Tembok kokoh menjadi saksi bagaimana manusia seorang diri mampu menghadapi kerasnya hati yang selalu merasa dilukai. Semuanya tidak berasal dari mana-mana, tapi dari dalam diri. Ya. Akuilah bahwa memahami hati tidak selamanya mudah, juga tak selamanya sulit. Entahlah apa namanya.

Skywalk. 01 April 2014.
4:38 pm

Sebuah Cerita

Tentang ketidaksanggupan sebuah pagi.
Tentang kepedihan yang mengiris tipis-tipis.
Tentang ingatan akan masa yang.... ah, sudahlah. 

Maret 14, 2014

ter... nyata...

Ternyata... aku belum benar-benar lupa caranya menangis. Separuh luka getir begitu saja. Derai mengalir diantara gerimis tak sengaja. Aku, luka.

Maret 12, 2014

Surat luka sudut tak berbahasa

Aku masih bisa berlagak sok kuat dan tegar di depan apapun, siapapun. Tapi pernahkah kalian telisik lebih dalam bahwa aku memendam luka? Luka yang hanya aku yang bisa merasakannya. Merasakan perihnya. Merasakan pedihnya. Luka yang muncul ketika aku tersakiti, sementara tampilanku masih menunjukkan senyum. Sungguhnya itulah luka yang teramat menyakitkan.

Aku sadar bahwa aku hidup bukan sendirian di muka bumi ini, tapi mengapa semua yang kulakukan seolah selalu salah hingga membuatku merasa sepi. Bahkan yang paling dekat denganku sekalipun. Ya, mereka juga. Aku tahu mereka menyayangiku, dengan cara mereka sendiri tentunya. Tapi apakah pernah mereka ketahui bahwa aku juga ingin disayangi melalui cara yang aku mengerti?

Aku ingin bertanya pada kalian. Apakah 'nasihat' itu selalu identik dengan unsur kebaikan?
Tolong jawab aku...
Mungkin akan banyak yang menjawab 'ya'.
Kemudian aku ingin bertanya lagi, apakah termasuk pada 'nasihat yang dibalut intonasi tinggi'?
Iya kah?
Jelaskan padaku mengapa.

Aku cukup sadar bahwa tiap orang memiliki caranya masing-masing. Entah dalam menunjukkan rasa sayangnya, entah dalam menunjukkan kepeduliannya. Mungkin termasuk pula dalam menunjukkan kesal dan benci nya.

Mungkin yang mereka anggap wujud sayang itu, ternyata dianggap lain oleh yang disayang. Mungkin salah persepsi dan pemahaman. Mungkin. Bahkan, sangat mungkin. Bisa jadi karena salah cara penyampaian. Termasuk yang sering ada dalam kehidupan. Nasihat, sungguhnya baik. Sayangnya, tidak, menurutku, ketika ia disandingkan dengan intonasi tinggi yang cenderung menyudutkan. Sebesar apapun power penyampainya. Bahkan bisa dibilang justru akan memunculkan benci. A'udzubillahi min dzalik.



Sesepi ini. Aku bisa menangis hanya karena nasihat. Hm... Mungkin lebih tepatnya bukan hanya nasihat, tapi penyampaian nasihat. Ya, cengeng memang. Tapi kalian tidak akan pernah mengerti betapa kaget dan shock jantung ini dihujam bentakkan yang katanya nasihat. Lemas organ ini. Mau copot begitu saja. Sampai sampai tiada upaya yang mampu dilakukan selain meluruhkan air hangat dari sudut berkaca mata ini.

Terima kasih telah mengingatkan kembali padaku caranya menangis. Semoga setelah ini aku kembali lupa, kembali acuh, kembali arogan.
Salam, 
Dua sudut tak bersalah yang akhirnya hujan.

Maret 10, 2014

"The greatest gift you can give someone is the space to be his or herself, without the threat of you leaving."
Kai, Lessons in Life #39

"You"

If I say "I love you", will you answer me "I love you, too"?

Kamu tidak tahu, kan, kalau aku sayangi dalam diam?

- "Define me, 'happy'".
- "You. Right here, laugh with me."

Aku sudah pernah merencanakan untuk mengungkapkan perasaan, lalu kamu tersenyum saja, rencanaku langsung berantakan.

I was talking to my ego. It said that it miss you, but don't want to tell you.

Lain kali, kalau aku bilang sedang tidak mau ketemu kamu, seharusnya kamu tdak percaya kata-kataku.

- How do you spell "love"?
- "Y.O.U."

Kalau kamu bertanya, "Apa yang harus aku lakukan untuk membuatmu bahagia?". Aku akan menjawab, "Aku selalu bahagia denganmu tanpa kamu harus melakukan apa-apa."

bocah.



source: namarappuccino.com (Everything about 'you')

Kepada kalian manusia yang penuh retorika.

Terima kasih.

Maret 09, 2014

Sebuah tulisan tanpa judul

Untukmu, sebuah tulisan tanpa judul ini aku tuliskan. Entah apa yang ingin diutarakan. Hanya saja ingin ini lebih dari apapun. Harusnya kau tahu apa yang ingin aku sampaikan. Semoga, ya.
Sekian.

Maret 07, 2014

Cit, aku sedih kalau kamu berubah nggak jadi lebih baik karena aku. Kadang aku berpikir untuk lebih baik kamu nggak kenal aku daripada dengan kenal aku justru nggak bikin kamu jadi lebih baik, bahkan banyak anggapan (pasti) justru kamu berubah nggak jadi diri kamu sendiri seperti yang dulu. Aku sedih, Cit :"(

Maret 05, 2014

Yang kurasakan-hendak kukatakan

Pagi beranjak pergi
Siang berniat hilang

Menangis lagi. Bukan, bukan karena tidak terima terhadap apa yang dikatakan tentangku. Justru karena aku sangat menerima. Bahkan, lebih dari itu. Memunculkan banyak ketakutanku, seperti apa yang diutarakannya. Aku hanya hidup dan menjalani kehidupan ini mengalir begitu saja selayaknya unsur kehidupan yang menyapaku. Aku tak pernah berekspektasi apa-apa. Sungguh. Maka hadirnya kisah ini hanya mampu aku jalankan sesuai apa yang seharusnya aku laksanakan. Kemudian, terhadap cerita belakangan yang terlanjur terjadi? Aku memilih untuk berdiri, tak memilih untuk dipilih. Namun semuanya berjalan begitu saja. Aku yakin, akan apa yang terjadi belakangan ini akan ada hikmahnya. Pasti. Maka aku tak pernah meragukan-menyedihkan sebagian kisah hidup ini. Dan aku tak pernah menyalahkan apa yang terlanjur terjadi hingga saat ini. Kembali pada ketakutanku. Ketakutan seperti apa? Sungguhnya aku ragu. Ya, kukatakan ragu. Sudah kubilang bahwa aku menjalani hidup ini mengalir selayaknya hidup yang menyodorkan kisah kearahku. (Meski sayangnya, orang lain selalu salah mengartikannya, hingga berujung pada judge tertentu terhadapku). Maka kuterima, kujalani sepenuh hati. Sesimple itu, bukan? Sayangnya muncul kehadiran dan kisah yang (aku yakini) memang digariskan untuk hadir sebagai pembelajaran.
Kalau aku harus jabarkan ketakutan seperti apa, maka biarkan aku tarik napas sebentar...
...satu menit...
...dua menit...
...tiga menit...
...tiga puluh menit...
Maaf, ternyata aku belum mampu menjabarkannya saat ini juga. Kelak, ketika aku siap, maka akan kutorehkan dalam tinta. Pasti. Itu janjiku.

Maka sebelum menutup ini, kuucap dan kusampaikan salam kasih teruntuk kalian semua yang masih menganggapku ada melalui kritik dan pendapat versi kalian masing-masing. Ketakutanku tidak membutakan diriku terhadapnya. Yakin. Terima kasih.

Aku yang lemah tapi tegar :)
N.

Terima kasih, ya :)

Untuk kamu, yang dalam pandanganmu berkata bahwa akulah penyebab perubahan yang terjadi ini. Yang dalam pikiranmu terpatri bahwa akulah penyebab memburuknya perasaan mu karena perlakuan yang lainnya. Yang dalam otakmu tersusun tentara kebencian terhadapku. Oke, mungkin yang terakhir berlebihan. Tapi, maaf, setidaknya itu yang dapat diterjemahkan dari puluhan-bahkan-ratusan gerbong kata yang kau tuliskan. Terima kasih, ya. Sungguh, aku berterima kasih sebab kau menuliskannya. Hingga terbaca semua. Jelas semua. Terima kasih.
Terima kasih membuat aku semakin bingung harus mengekspresikan respon seperti apa. Tapi tenang saja, tak ada lagi kebencian terhadapmu. Aku semakin belajar untuk mengerti, bahwa memang kaulah yang pantas dimengerti. Maka aku tak lagi menuntut untuk dimengerti. Cukup aku yang berusaha mengerti melalui caraku sendiri. Mungkin kau yang membaca ini akan berpikiran bahwa 'terima kasih' ku adalah sebatas kalimat saja. Terserah. Aku tak peduli apapun pendapat itu. Yang jelas, senyum tulus di wajah dan hatiku ini membuktikannya, setidaknya sebagai bukti pada diriku sendiri. Aku sudah terbiasa dinilai buruk dimata orang lain. Sebab ia tak tahu aku. Tidak. Yang tahu diriku secara baik hanyalah diriku sendiri. Orang lain menilaiku sebatas apa yang mereka tangkap melalui sudut pandangnya sendiri, atau bahkan juga beberapa sudut pandang terdekatnya.
Kamu, terima kasih, ya. Semoga kita sama-sama belajar menjadi lebih baik: kamu&aku belajar menilai satu sama lain secara lebih objektif-bukan hanya dari sudut pandang yang diterima sendiri saja. Aamiin.
Senyum tulusku ini kupersembahkan padamu, yang katanya merasa tersakiti sebab kehadiranku :")