...aku menari bersama senja diiringi nyanyian hujan yang membekukan... ..

☂☂☂

Juli 25, 2012

Ketika Kagum Menghangatkanku


Jum’at.
Ketika itu, mentari masih menghangatkan tubuhku. Awan-awan lembut dilangit mengiringi langkahku. Rambutku yang sengaja digerai tertiup lembut oleh semilir angin yang menyusup melalui jendela kelas yang baru saja kubuka. Kesejukan menghampiriku melalui pori-pori angan yang mengelilingiku. Hayalku melayang menuju saat bahagia itu, ketika sesosok manusia sangat biasa menyita separuh dari kekagumanku.
Sepintas tak ada sedikitpun hal yang membanggakan. Parasnya yang biasa dan pribadinya yang tak jauh berbeda dengan kebanyakan remaja seusianya semakin menguatkan bahwa tak ada kekaguman untuknya. Namun tidak bagiku. Kepribadiannya sebagai anak asrama menyilaukan pandanganku. Kesehariannya beberapa minggu setelah perkenalan kami memupuk rasa kagum dalam hatiku. Betapa tidak? Rasa malasnya menyebabkan ia selalu jujur terhadap segala kesibukannya. Dan entah mengapa, aku selalu ingin menjadi bagian dari kemalasannya dengan selalu menjadi pengingat berjalan baginya.
Pernah aku bertanya padanya, perihal kebiasaannya tidur ketika guru menjelaskan di depan kelas, berujung pada keluhnya padaku. “Haduh iya nih, gue selalu kekurangan waktu buat tidur. Bayangin aja, setiap hari sekolah pulang sore bahkan ngga jarang malem. Mulai dari maghrib sampai malem, harus ikut jadwal kajian asrama dan lain sebagainya. Setelah itu, ngerjain tugas sekolah sampai larut malem, bahkan sering ngga selesai karena udah kecapean. Bukan cuma itu, pagi-pagi buta udah dibangunin lagi buat tahajjud dan tadarus Al-Qur’an. Waah. Menyita tenaga banget, tapi sangat menyenangkan.” Tanggapanku kala itu hanya, “hmm.. oh gitu, pantes...”

“Hayoo, Ifa lagi mikirin apa?” tiba-tiba sosok Huwaida Azzahra memutus lamunanku dari alam yang entah ada dimana.
“Eh, Zahra. Baru dateng? Tumben agak siang, biasanya kamu duluan daripada aku.”
“Iya, tadi umi nganterin Alfi dulu. Oh iya, nanti kamu sama Riani jadi ke rumah aku?”
“Iya, jadi kok.”
“Oke deh, aku udah bilang umi kalau kalian mau main ke rumah,” senyumnya mengembang, “tadi lagi mikirin apa hayo? Kok pandangannya ke arah Fakhri terus sih?”
“Hah? Masa? Enggak kok.” Jawabku agak gugup.
“Kamu suka ya sama Fakhri?”
“Enggak kok. Kamu ada-ada aja sih. Udah ah, nggak usah dibahas lagi.” Aku berusaha menutupi apa yang baru saja aku lakukan.
őőő
“Assalamu’alaikum, umi...”
“Wa’alaikumsalam...”
“Umi, ini ada temen-temen Zahra, Riani dan Ifa.”
“Sore, tante.” Sapaku dan Riani bersamaan.
“Sore. Ayo kalian langsung ke atas ya, ke kamar Zahra aja. Satu lagi, jangan panggil tante ya, panggilnya umi aja, kalian kan temannya Zahra.”
“Iya.... umi...” ucap kami masih agak canggung, kemudian beranjak menuju kamar Zahra di lantai atas.
Hatiku sungguh damai berada di lingkungan keluarga Zahra. Begitu islami. Aroma Al-Qur’an tercium begitu kuat dari sini. Membuatku iri. Astaghfirullah...
Sepanjang sore itu, kami bertiga bersantai di kamar Zahra yang penuh nuansa hijau. Batinku merasa bercahaya disini. Seakan ada butiran salju yang menentramkan jiwa. Entah apa itu.
Terlebih ketika Zahra akan mengantar kami pulang. Ia bercermin mengenakan jilbab. Mataku tak beralih dari memandangi gerak-geriknya. Sebuah ketertarikan luar biasa. Bahkan, aku sampai meminta Zahra mengajariku mengenakan jilbab dengan rapi.
őőő
Malam harinya, aku terus mematut diri di depan cermin. Baying-bayang sosok Fakhri, Zahra, dan Bu Devi, wali kelas yang begitu akrab denganku, seolah menari-nari bekeliling di sepanjang lintasan pigura cermin. Tanpa kusadari, mataku terus meniti wajah dan rambutku di cermin. Mulai dari gurat wajah sampai tekstur rambut.
Tiba-tiba tanganku tergerak mengambil ponsel dari atas meja belajar. Mengetikkan sebuah pesan singkat untuk Zahra.

Ifa    : Zahra,
Zahra  : Iya, ada apa fa?
Ifa    : Mau Tanya...
Zahra  : Tanya apa?
Ifa    : Kamu pakai jilbab sejak kapan?
Zahra  : Aku sejak kecil, kenapa?
Ifa    : Gimana rasanya berjilbab?
Zahra  : Hmm... nyaman loh pakai jilbab. Kok tiba-tiba tanya ini?
Ifa    : Hehe ngga apa-apa kok. Makasih ya.
Aku masih mematut diri di depan cermin. Muncul sesosok bayangan. Namun kali ini haya ada satu bayangan, hanya bayangan Fakhri, Muhammad Amam Fakhri. Seorang laki-laki yang selama ini menyita kekagumanku. Sosok panutan yang begitu kental dengan aroma keislaman yang selama ini aku rindukan.
őőő
Senin, disekolah.
Langkahku terayun menapaki tiap-tiap anak tangga. Suasana masih sepi, tapi aku merasakan telah ada sesosok yang menantiku. Aku meneruskan langkah hingga mencapai kelas. Ketika tiba pada daun pintu, sosok Fakhri tiba-tiba menatap ke arahku dengan pandangan yang agak berbeda. “Ifa...” ucapnya reflesk.
Aku mengabaikannya, hanya membalas senyum sepintas. Ia mengambil posisi mendekat. Wajahnya agak sedikit bercahaya, “kamu pakai jilbab?” tanyanya ramah.
Aku hanya mengangguk tersenyum. Merasakan bait-bait ketenangan mulai menyusup diantara rongga-rongga batinku. Perkenalanku dengan Fakhri dan Zahra membawaku semakin hangat dengan Penciptaku. Satu hal yang sangat aku dambakan.


Sabtu, 19 November 2011
&langit-langit bagi hamparan angin&