...aku menari bersama senja diiringi nyanyian hujan yang membekukan... ..

☂☂☂

Maret 14, 2014

ter... nyata...

Ternyata... aku belum benar-benar lupa caranya menangis. Separuh luka getir begitu saja. Derai mengalir diantara gerimis tak sengaja. Aku, luka.

Maret 12, 2014

Surat luka sudut tak berbahasa

Aku masih bisa berlagak sok kuat dan tegar di depan apapun, siapapun. Tapi pernahkah kalian telisik lebih dalam bahwa aku memendam luka? Luka yang hanya aku yang bisa merasakannya. Merasakan perihnya. Merasakan pedihnya. Luka yang muncul ketika aku tersakiti, sementara tampilanku masih menunjukkan senyum. Sungguhnya itulah luka yang teramat menyakitkan.

Aku sadar bahwa aku hidup bukan sendirian di muka bumi ini, tapi mengapa semua yang kulakukan seolah selalu salah hingga membuatku merasa sepi. Bahkan yang paling dekat denganku sekalipun. Ya, mereka juga. Aku tahu mereka menyayangiku, dengan cara mereka sendiri tentunya. Tapi apakah pernah mereka ketahui bahwa aku juga ingin disayangi melalui cara yang aku mengerti?

Aku ingin bertanya pada kalian. Apakah 'nasihat' itu selalu identik dengan unsur kebaikan?
Tolong jawab aku...
Mungkin akan banyak yang menjawab 'ya'.
Kemudian aku ingin bertanya lagi, apakah termasuk pada 'nasihat yang dibalut intonasi tinggi'?
Iya kah?
Jelaskan padaku mengapa.

Aku cukup sadar bahwa tiap orang memiliki caranya masing-masing. Entah dalam menunjukkan rasa sayangnya, entah dalam menunjukkan kepeduliannya. Mungkin termasuk pula dalam menunjukkan kesal dan benci nya.

Mungkin yang mereka anggap wujud sayang itu, ternyata dianggap lain oleh yang disayang. Mungkin salah persepsi dan pemahaman. Mungkin. Bahkan, sangat mungkin. Bisa jadi karena salah cara penyampaian. Termasuk yang sering ada dalam kehidupan. Nasihat, sungguhnya baik. Sayangnya, tidak, menurutku, ketika ia disandingkan dengan intonasi tinggi yang cenderung menyudutkan. Sebesar apapun power penyampainya. Bahkan bisa dibilang justru akan memunculkan benci. A'udzubillahi min dzalik.



Sesepi ini. Aku bisa menangis hanya karena nasihat. Hm... Mungkin lebih tepatnya bukan hanya nasihat, tapi penyampaian nasihat. Ya, cengeng memang. Tapi kalian tidak akan pernah mengerti betapa kaget dan shock jantung ini dihujam bentakkan yang katanya nasihat. Lemas organ ini. Mau copot begitu saja. Sampai sampai tiada upaya yang mampu dilakukan selain meluruhkan air hangat dari sudut berkaca mata ini.

Terima kasih telah mengingatkan kembali padaku caranya menangis. Semoga setelah ini aku kembali lupa, kembali acuh, kembali arogan.
Salam, 
Dua sudut tak bersalah yang akhirnya hujan.

Maret 10, 2014

"The greatest gift you can give someone is the space to be his or herself, without the threat of you leaving."
Kai, Lessons in Life #39

"You"

If I say "I love you", will you answer me "I love you, too"?

Kamu tidak tahu, kan, kalau aku sayangi dalam diam?

- "Define me, 'happy'".
- "You. Right here, laugh with me."

Aku sudah pernah merencanakan untuk mengungkapkan perasaan, lalu kamu tersenyum saja, rencanaku langsung berantakan.

I was talking to my ego. It said that it miss you, but don't want to tell you.

Lain kali, kalau aku bilang sedang tidak mau ketemu kamu, seharusnya kamu tdak percaya kata-kataku.

- How do you spell "love"?
- "Y.O.U."

Kalau kamu bertanya, "Apa yang harus aku lakukan untuk membuatmu bahagia?". Aku akan menjawab, "Aku selalu bahagia denganmu tanpa kamu harus melakukan apa-apa."

bocah.



source: namarappuccino.com (Everything about 'you')

Kepada kalian manusia yang penuh retorika.

Terima kasih.

Maret 09, 2014

Sebuah tulisan tanpa judul

Untukmu, sebuah tulisan tanpa judul ini aku tuliskan. Entah apa yang ingin diutarakan. Hanya saja ingin ini lebih dari apapun. Harusnya kau tahu apa yang ingin aku sampaikan. Semoga, ya.
Sekian.

Maret 07, 2014

Cit, aku sedih kalau kamu berubah nggak jadi lebih baik karena aku. Kadang aku berpikir untuk lebih baik kamu nggak kenal aku daripada dengan kenal aku justru nggak bikin kamu jadi lebih baik, bahkan banyak anggapan (pasti) justru kamu berubah nggak jadi diri kamu sendiri seperti yang dulu. Aku sedih, Cit :"(

Maret 05, 2014

Yang kurasakan-hendak kukatakan

Pagi beranjak pergi
Siang berniat hilang

Menangis lagi. Bukan, bukan karena tidak terima terhadap apa yang dikatakan tentangku. Justru karena aku sangat menerima. Bahkan, lebih dari itu. Memunculkan banyak ketakutanku, seperti apa yang diutarakannya. Aku hanya hidup dan menjalani kehidupan ini mengalir begitu saja selayaknya unsur kehidupan yang menyapaku. Aku tak pernah berekspektasi apa-apa. Sungguh. Maka hadirnya kisah ini hanya mampu aku jalankan sesuai apa yang seharusnya aku laksanakan. Kemudian, terhadap cerita belakangan yang terlanjur terjadi? Aku memilih untuk berdiri, tak memilih untuk dipilih. Namun semuanya berjalan begitu saja. Aku yakin, akan apa yang terjadi belakangan ini akan ada hikmahnya. Pasti. Maka aku tak pernah meragukan-menyedihkan sebagian kisah hidup ini. Dan aku tak pernah menyalahkan apa yang terlanjur terjadi hingga saat ini. Kembali pada ketakutanku. Ketakutan seperti apa? Sungguhnya aku ragu. Ya, kukatakan ragu. Sudah kubilang bahwa aku menjalani hidup ini mengalir selayaknya hidup yang menyodorkan kisah kearahku. (Meski sayangnya, orang lain selalu salah mengartikannya, hingga berujung pada judge tertentu terhadapku). Maka kuterima, kujalani sepenuh hati. Sesimple itu, bukan? Sayangnya muncul kehadiran dan kisah yang (aku yakini) memang digariskan untuk hadir sebagai pembelajaran.
Kalau aku harus jabarkan ketakutan seperti apa, maka biarkan aku tarik napas sebentar...
...satu menit...
...dua menit...
...tiga menit...
...tiga puluh menit...
Maaf, ternyata aku belum mampu menjabarkannya saat ini juga. Kelak, ketika aku siap, maka akan kutorehkan dalam tinta. Pasti. Itu janjiku.

Maka sebelum menutup ini, kuucap dan kusampaikan salam kasih teruntuk kalian semua yang masih menganggapku ada melalui kritik dan pendapat versi kalian masing-masing. Ketakutanku tidak membutakan diriku terhadapnya. Yakin. Terima kasih.

Aku yang lemah tapi tegar :)
N.

Terima kasih, ya :)

Untuk kamu, yang dalam pandanganmu berkata bahwa akulah penyebab perubahan yang terjadi ini. Yang dalam pikiranmu terpatri bahwa akulah penyebab memburuknya perasaan mu karena perlakuan yang lainnya. Yang dalam otakmu tersusun tentara kebencian terhadapku. Oke, mungkin yang terakhir berlebihan. Tapi, maaf, setidaknya itu yang dapat diterjemahkan dari puluhan-bahkan-ratusan gerbong kata yang kau tuliskan. Terima kasih, ya. Sungguh, aku berterima kasih sebab kau menuliskannya. Hingga terbaca semua. Jelas semua. Terima kasih.
Terima kasih membuat aku semakin bingung harus mengekspresikan respon seperti apa. Tapi tenang saja, tak ada lagi kebencian terhadapmu. Aku semakin belajar untuk mengerti, bahwa memang kaulah yang pantas dimengerti. Maka aku tak lagi menuntut untuk dimengerti. Cukup aku yang berusaha mengerti melalui caraku sendiri. Mungkin kau yang membaca ini akan berpikiran bahwa 'terima kasih' ku adalah sebatas kalimat saja. Terserah. Aku tak peduli apapun pendapat itu. Yang jelas, senyum tulus di wajah dan hatiku ini membuktikannya, setidaknya sebagai bukti pada diriku sendiri. Aku sudah terbiasa dinilai buruk dimata orang lain. Sebab ia tak tahu aku. Tidak. Yang tahu diriku secara baik hanyalah diriku sendiri. Orang lain menilaiku sebatas apa yang mereka tangkap melalui sudut pandangnya sendiri, atau bahkan juga beberapa sudut pandang terdekatnya.
Kamu, terima kasih, ya. Semoga kita sama-sama belajar menjadi lebih baik: kamu&aku belajar menilai satu sama lain secara lebih objektif-bukan hanya dari sudut pandang yang diterima sendiri saja. Aamiin.
Senyum tulusku ini kupersembahkan padamu, yang katanya merasa tersakiti sebab kehadiranku :")