...aku menari bersama senja diiringi nyanyian hujan yang membekukan... ..

☂☂☂

Februari 29, 2012

sahabat baruku sudah ada yang memiliki


Baru dua hari yang lalu aku mendengar setia cerita galaumu, memberikan nasehat terbaik yang melintas. Menangkap sinar matamu yang penuh harap bahwa aku akan memberi secercah cahaya atas gundah yang kau derita. Tapi, tadi pagi-pagi sekali, aku telah mendapati kabar kau telah kembali. Ya.. kembali pada kasihmu yang lalu. Rupanya gundahmu telah berakhir. Apakah kalimatku menyiratkan kesimpulan yang mampu kau baca? Mungkin.

Aku turut bahagia, sahabat. Tapi... Entah mengapa aku merasa kehilangan. Yang ada dalam pikiranku hanya satu kesimpulan bahwa kau takkan pernah lagi membutuhkanku untuk sekedar menggali tentang sedikit perasaan dari sudut pandang perempuan. Mungkin kau tak lagi mengenaliku sebagai satu titik yang kau butuhkan sebagai pelampiasan ceritamu. Bahkan, mungkin aku harus membangun tembok kokoh untuk membatasi kita. Dan aku harus terbebani rasa menjaga perasaan kekasihmu.

Baru satu hari kau kembali padanya, aku sudah kehilangan banyak waktu untuk menggali perasaan seorang laki-laki darimu, sahabat. Padahal, kedekatan kitapun baru saja terjalin. Aku nyaman berkeluh kesah tentang kasihku disisimu. Kaupun begitu, bukan?

Aku kehilanganmu, sahabat.

Perlu kau tau, aku butuh lebih banyak waktu untuk meretas cerita gundah dan pendapatmu!





10:44 WIB
Rabu, 29 Februari 2012
langit-langit bagi hamparan angin

Februari 10, 2012

Februari 04, 2012

surat untuk sahabat


Untuk sahabat yang melupakanku..

Sahabat, ingatkah kau ketika di hari bahagiamu aku hadir ditengah suasana asing yang baru kukenal? Dan apakah kau tahu yang sungguhnya kurasakan?
Hatiku bergejolak. Kau tahu kenapa? Karena aku merasa sangat tidak nyaman berada pada lingkaran samar berwarna abu-abu yang menamakan dirinya sebagai ‘sahabat’. Ya.. ‘sahabat’ barumu, bukan sahabatku. Bahkan, bukan pula teman yang mengenalku. Mereka hanya sekedar ‘tahu’ aku.

Awalnya, nurani ini ingin menolak ajakan mereka. Namun, tak sanggup lidahku berkata ‘tidak’. Karena kau sahabatku. Seorang yang sebagian hatinya telah disisipkan namaku. Meskipun hanya sebagai sebatas tempat sampah ketika duka mendera. Tapi senyummu telah tergores indah dalam memoriku selama dua tahun kebersamaan raga kita. Tidak mudah untukku menghapusnya begitu saja, sebab yang telah tergores akan selamanya membekas. Itulah yang kuharapkan dari kebersamaan kita dahulu, meskipun telah tiga tahun raga kita tak lagi selalu berdampingan. Tapi aku selalu merasakan hadirmu dalam jiwa ini. Entahlah dengan dirimu…

Sahabat,
Sekalipun raga dan batinku hadir memeluk hari bahagiamu, agaknya jiwamu tak merengkuhnya. Tanpa kau sadari, kau sudah mengecewakanku dengan sikap acuhmu yang kau balut dengan sutera. Tapi perlu kau tahu, seindah dan selembut apapun kau berusaha menutupinya, pikiranku selalu mampu menembus dan membaca yang tak tersurat.

Hari itu kau begitu asik dengan ‘sahabat-sahabatmu’. Hingga tak ada kisah baru yang biasa kau tumpahkan setiap hadirku singgah. Bahkan, obrolan tak penting pun tak juga menghampiriku dari bibirmu yang mungil itu.

Sungguh hatiku sepi. Padahal itu hari bahagiamu.
Harusnya kau ingat; siapa yang hadir waktu kau kabari kau sedang sedih? Siapa yang dengar ceritamu ketika ‘sahabat’ barumu menusuk dari belakang? Siapa yang berikan semangat ketika pacar yang sekaligus sahabatmu itu mendua? Siapa yang relakan bahunya tuk jadi sandaran ketika kau menangis? Siapa yang selalu tahu keadaanmu sekalipun tak sedang bersama? Siapa yang selalu rela mengorbankan waktunya hanya untuk mendengar lukamu? Dan... siapa yang selalu mengingatmu?
Itu aku!
Bahkan, ketika kau selalu lupa kapan aku ulang tahun, aku selalu ingat dan memberimu hadiah terindah buatanku sendiri.
Sadarkah kau betapa pilunya aku mengingat semua kenangan manis kita disaat kau tak pernah menyadarinya?!

Mungkin, sekarang raga kita tak pernah lagi bersama. Hanya sesekali saja. Dan kaupun telah menemukan banyak sahabatmu yang baru. Akupun tak berhak egois mengharap kau selalu menumpahkan kisahmu padaku. Tapi aku selalu bahagia saat kau bersedia membagi kisahmu dengan dunia barumu padaku. Hatiku terbuka lebar menerima tumpah ruah gejolak suka-dukamu.
Aku berharap, meski kau tak pernah lagi memintaku tiba-tiba datang kerumahmu hanya untuk mendengar tangismu, jiwamu masih mengingatku. Menempatkannya pada posisi yang sama ketika kita masih bersama. Sebab senyummu masih tergores indah dalam relung iniJ

#Langit-langit bagi hamparan angin#