...aku menari bersama senja diiringi nyanyian hujan yang membekukan... ..

☂☂☂

Februari 27, 2011

Kisah Sejarah [part 1]


Senin
Jarum jam menunjukkan waktu dua puluh menit sebelum pukul setengah tujuh ketika terdengar ucapan salam dari bibir mungil milik gadis berseragam putih-putih. Tangan kanannya masih menggenggam tangan sang ibu. Sementara tangan kirinya menggenggam erat topi putih-merah. Tidak lama kemudian, tangannya terlepas dan digantikan tangan lain yang lebih terawat. Gadis berjilbab itu mencium tangan ibunya perlahan, kemudian melepaskannya dan beranjak menyusul adiknya yang sudah siap untuk berangkat ke sekolah.
Sang ibu hanya tersenyum tipis melihat kelakuan dua putrinya yang selalu rutin mencium tangannya ketika akan berangkat ke sekolah. Tinggal dengan dua putri yang berbeda watak dan karakter sama saja seperti hidup di medan perang, sewaktu-waktu bisa dengan tak sengaja mendengar perang dahsyat antara mereka. Meskipun begitu, keduanya sama-sama saling menyayangi dan sama-sama tak pernah mengakuinya.
Rasti, anak pertamanya yang sudah duduk di bangku SMA kelas dua sedang sibuk-sibuknya mengikuti berbagai aktifitas. Kabar terakhir, dia terpilih menjadi salah satu kandidat ketua OSIS. Bahkan, dia juga turut aktif dalam kegiatan-kegiatan eksternal lain. Namun diantara kesibukannya, Rasti tetap mengutamakan pendidikan. Nilai-nilainya selama ini selalu terjaga, meskipun dia bukanlah satu-satunya siswa yang pintar. Sebab sejak duduk dikelas dua, semakin bermunculan saingan-saingan baru baginya. Sementara, adik Rasti, Resti, yang delapan tahun jauh lebih muda, cenderung berbanding terbalik dengan Rasti yang begitu kalem dan anggun. Resti lebih usil dan banyak bicara. Tetapi tetap saja, kedua putrinya tersebut mampu membuat kepalanya mendadak berasap.
“Ma, aku berangkat ya. Assalamu’alaikum”
Selama perjalanan, Rasti selalu melirik kearah jam tangan biru miliknya. Jarum detik terus berputar, begitupun jarum menit. Wajahnya tampak tenang, tapi sejujurnya hatinya sangatlah gusar. Sejak diberi kabar bahwa ia terpilih menjadi salah satu kandidat ketua OSIS disekolahnya, ia selalu teringat kalimat-kalimat nasehat kakak kelasnya. Termasuk nasihat jangan pernah terlambat. Guru-guru sudah sangat banyak yang mengenalnya. Namun kali ini, ia berangkat sudah terlampau siang untuk ukuran jarak rumahnya. Dalam hati ia berharap semoga tidak terlambat.
“Alhamdulillah.” Gumamnya dalam hati. Rasti sangat bersyukur tidak terlambat hari ini.
Dengan langkah pasti, Rasti menaiki tiap-tiap anak tangga. Setiap orang yang dijumpai diberikan senyuman manis khas-nya. Rasti terkenal dikalangan guru-guru sebagai pribadi yang santun. Jilbab yang dikenakan seolah semakin memerkuat aura keindahannya.
Ketika sampai dikelas, Rasti segera meletakkan tasnya pada bangku di barisan pojok paling depan. Membuka tasnya mengambil topi, kemudian setengah berlari mengejar teman-temannya yang sudah bergegas turun untuk upacara.
 “Eh, denger-denger kita dapet guru PPL dari UNJ ya?” tanya Icha memulai percakapan semut ditengah lapangan ketika upacara berlangsung.
“Emang ya? Kata siapa lo cha?” Rasti justru balik bertanya.
“Denger dari kelas lain sih gitu. Seminggu kemarin banyak guru PPL kan disini?”
“Semoga aja kita dapet guru PPL geografi ya. Haha.” ujar Putri tiba-tiba.
“Amin banget.” Rasti menambahkan.
“Kalo gue sih berdo’a supaya kita dapet guru PPL yang ganteng-gantengJ.”
“Ah elo Cha, aneh-aneh aja deh. Yang penting tuh kita bisa nyambung kalo belajar. Ya nggak Put?”
“Iya Ras!”
Icha menghela napas menghadapi kedua temannya yang ‘alim’ itu. “Iseng sedikit ngga apa-apa kali.”
“Iya ngga apa-apalah kalo buat lo. Tapi buat gue ngga.”
“Siapa juga yang ngajakin lo Put.” sifat iseng Icha mulai keluar.
“Kalo lo ikutan si Rama mau dikemanain? Taro kantong gue nih.” Rasti ikut meledek.
“Hahaha…” serempak mereka tertawa bertiga. Namun buru-buru menutup mulut masing-masing. Mereka tersadar bahwa mereka masih mengikuti upacara.
‘The leader ceremony leave the field’
Terdengar suara MC Upacara membubarkan barisan. Ketiganya masih larut dalam tawa ketika beranjak meninggalkan lapangan dan menuju kelas mereka di lantai tiga. Sebelum menaiki tangga, Putri mengajak Rasti yang berjilbab dan Icha yang dikuncir pita ke kantin.
“Anterin ke kantin dulu yuk!”
“Mau ngapain Put?” tanya Rasti polos.
“Biasa, beli minum.” jawab Icha meskipun pertanyaan itu bukan ditunjukkan untuknya.
“Tau aja Cha.”
“Yak an emang biasanya begitu.” Tambah Icha lagi.
“Kok gue engga tau ya?” tanya Rasti.
“Biasanya kan lo puasa kalo hari senin Ras, jadi ngga pernah diajak.”
Rasti diam sejenak. Ia baru sadar kalau memang itu kenyataannya. Rasti sudah terbiasa untuk puasa Senin-Kamis sejak masih duduk di bangku SD, bahkan sampai sekarang ia selalu rutin mengerjakannya. Meskipun tidak berasal dari keluarga yang berlatar-belakang Islam yang sangat kental, Rasti dan keluargannya sudah terbiasa untuk turut merasakan penderitaan banyak orang diluar sana. “Oh gitu ya, tapi sekarang gue ikut kalian nih. Nggak apa-apa kan?”
“Ya nggak apa-apa lah selama belom ada undang-undang yang ngatur,” jawab Icha diselingi canda, “haha..”
“Mungkin aja dengan lo ikut bisa ketemu guru PPL yang … “
Belum sempat Putri menyelesaikan kalimatnya, seorang laki-laki berusia sekitar 21 tahun, bertubuh tinggi, tegap, rapi dengan kemeja polos berwarna hijau tua lengan pendek meleYanti mereka, berjalan dengan langkah pasti menuju ruang Audio Visual yang letaknya di sebelah kiri jalan menuju kantin. Seketika itu pula pandangan Rasti seolah telah menemukan persinggahan yang baru.
‘Ah, mungkin cuma perasaan sementara yang numpang lewat’ gumamnya dalam hati. Ia berusaha menyembunyikan ekspresi perasaannya. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa Rasti sangat penasaran.
Ganteeeng!” tambah Icha tiba-tiba. Hampir membuat lelaki barusan menengok kearah mereka. Namun untunglah itu tidak terjadi. Mungkin Icha akan menanggung malu selama enam bulan kedepan kalau saja laki-laki barusan menengok dan menyangka Icha memanggilnya.
“Ish, untung dia ngga nengok.”
Rasti masih terdiam.
“Hehe. Refleks nih ngelanjutin omongan lo Put,” kata Icha, “tapi ngomong-ngomong dia itu siapa ya?”
“Guru PPL mungkin” jawab Putri singkat.
“Yeee, itu sih gue tau Put. Tapi lo tau nggak dia ngajar apa?”
“Enggaklah. Gue kan belum kenalan.”
“Rasti, lo kan biasanya tau segala sesuatu di sekolah ini. Lo tau ngga yang barusan lewat depan kita nggajar apa?”
Rasti tersentak oleh pertanyaan Icha yang tiba-tiba. Namun, untung saja ia masih menyimak sedikit sehingga ia bisa langsung menjawabnya tanpa perlu minta pengulangan. “Nggak gitu juga kali Cha, gue mana tau soal itu. Gue aja baru denger dari lo kalo ada guru PPL.”
“Nah seminggu kemaren ngapain aja lo?” Tanya Icha heran. Rasti yang biasanya tau segala sesuatu yang berkaitan dengan sekolah tercinta mereka, SMA Cendikia, ternyata belum tau akan hal yang satu ini. Meskipun Rasti tidak tergolong famous, setidaknya pengetahuan Rasti akan sekolah mereka cukup banyak, terkait posisinya disekolah sebagai pengurus OSIS yang cerdas.
Kini Putri yang menambahkan, “Baca buku mulu sih.”
Rasti tersenyum simpul. Memang ia belum mendapatkan teman seperjuangan yang cocok di kelasnya yang baru, XI IPS 3, maka dari itu ia selalu menghabiskan waktu istirahatnya untuk membaca. “Ih enggak juga. Cuma iseng aja sih.”
“Ya sudahlah, paling dia ngajar kelas sepuluh. Kalau untung ya kelas kita yang diajarin.” Putri menengahkan.
“Iyadeh. Eh naik ke atas sekarang yuk, sebelum Bu Yanti naik nih.” ajak Icha.
“Ayo!” Rasti bersemangat kembali.
“Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.” serentak murid XI IPS 3 menyerukan salam kepada wali kelas sekaligus guru sejarah mereka, Bu Setiyanti.
“Pagi anak-anak. Mulai hari ini kita kedatangan guru baru yang akan menggantikan Ibu mengajar selama satu semester kedepan. Sebelum itu, Ibu akan melakukan pembinaan terlebih dahulu. Setelah bel maka materi kalian akan disampaikan oleh guru pengganti.”
Deg. Rasti tiba-tiba teringat sesosok laki-laki yang ditemuinya di depan ruang Audio Visual tadi. Namun langsung menepisnya. Ia berusaha fokus menyimak pengarahan dari Bu Yanti.
Bel.
Bu Yanti keluar kelas. Sesaat kemudian terdengar seruan salam dari seorang laki-laki muda yang menenteng netbook dan LCD dari balik pintu. Seisi kelas serentak menjawab salam. Laki-laki itu masuk, meletakkan netbook dan LCD pada meja paling depan, kemudian memperkenalkan diri.
“Pagi semua. Perkenalkan, saya yang akan menggantikan Bu Yanti untuk mengajar di kelas ini. Nama saya Arya, lengkapnya Arya Samudra. Saya berharap kita bisa menjalin kerja sama yang baik selama saya mengajar di kelas ini.”
‘Oh namanya Arya’ gumam Rasti dalam hati. Baginya saat itu, mengetahui namanya saja sudah lebih dari cukup. Kenyataannya lain, Rasti tampak antusias menyimak penjelasan Pak Arya. Rasti menemukan banyak hal sepele yang tiba-tiba menjadi lebih dari luar biasa.
Dua jam pelajaran hampir berlalu.
“Lus, lo tau nggak ciri khas 2 guru sejarah kita?” tanya Rasti pada Lussi, teman sebangkunya.
“Enggak, emang kenapa?” tanyanya balik.
“Kalo Bu Yanti sering ngucapin kata ‘kaitannya’, kalau pak Arya sering ngucapin kata ‘seperti itu’. Bener nggak?”
“Ciie Rasti merhatiin aja. Kita kan baru diajarin sekali, udah tau aja sih lo.”
“Ya kan dari tadi gue merhatiin penjelasannya Pak Arya. Ngga kayak lo yang sibuk sms-an.”
“Perhatiin penjelasannya atau Pak Arya-nya?” Lussi iseng.
Rasti bingung. “Ya penjelasannya lah Lus,” ia mengatakan alibi yang tepat.
“Pak Arya yang diperhatiin juga nggak apa-apa kok.”
“Ih apaah sih Lus. Udah ah, mending gue nerusin baca.”
Lussi senyum-senyum. Entah tersenyum meledek Rasti atau tersenyum membaca sms yang baru diterimanya.


ᾃ TO BE CONTINUED ᾃ





“Jauhilah orang-orang yang berusaha merendahkan ambisi-ambisimu. Orang-orang yang lemah selalu melakukannya, tetapi orang yang benar-benar hebat membuatmu merasa bahwa kamu juga dapat menjadi hebat.” Mark Twain

alam menjelang senja

Gerimis menghiasi alam
Menjadi kawan bagi yang gersang
Mengembalikan sejuknya bentangan alam
Disertai senja yang menjelang
           
Kini langit bagaikan lilin yang padam
Namun tak kunjung pergi air yang takluk
Seakan rindu pada indahnya alam
Ingin selalu menyertai semua makhluk
Hari-hari berlalu dengan bosan
Diiringi air hujan yang jahil
Membuat sekitar penuh genangan
Seperti lautan bagi fauna kecil

Langit tak lagi kelabu bagai malam
Mataharipun beristirahat hingga puas
Tetapi alam bagaikan tenggelam
Oleh genangan yang kian meluas
Terik mentari tak kunjung datang
Mengusir air yang menggenang
Hingga itu dinamakan banjir
Dikelilingi suasana yang penug air

Sampai akhirnya banjir bertahan
Membuat insan manusia merasa malu
Akan semua perbuatan
Yang dilakukan terdahulu
Penyesalan terucap dimana-mana
Diumbar oleh setiap insan manusia
Hanya untuk dapatkan perhatian
Bukan untuk peroleh kebahagiaan

Kapankah ini semua akan berakhir
Menjadi yang pertama gan terakhir
Menjadi yang terindah yang didamba
Oleh semua makhluk di dunia




-selesai-

Februari 26, 2011

JUM'AT 25 FEBRUARI 2011

Pagi itu begitu cerah. Awan-awan di langit Nampak bersahabat menemani makhluk-makhluk yang hendak menuntut ilmu. Mereka berdatangan satu per satu. Kemudian memasuki kelasnya masing-masing. Di salah satu sudut sebelah tenggara, sebuah kelas terlihat damai dengan murid-muridnya yang luar biasa. Saking luar biasanya, kelas baru ramai setelah lewat bel masuk sekolah. Bukan karena mereka semua pendiam, namun lebih tepatnya dikatakan bahwa mereka baru datang.
Lima belas menit berlalu. Suasana sedikit berubah setelah mereka selesai melaksanakan tadarus Al-Qur’an -meskipun yang melaksanakan rutinitas itu hanya beberapa saja, masih dapat dihitung dengan jari tangan-.  Mereka mulai mengeluarkan buku catatan dari dalam tas masing-masing. Aku yang hari itu duduk di bari keempat dekat pintu-pun turut mengeluarkan buku catatan ekonomi beserta alat tulis seperlunya.
Wanita berkerudung yang berdiri dekat laptop itu mulai menggerakkan jemarinya, berbicara lantang, memulai Jum’at yang biru. Beliau mulai mulai menjelaskan materi baru. Kalimatnya lugas dan pasti. Tiap hal dijelaskan sungguh detail hingga kami mengerti. Namun suasana apa yang kutangkap…………
Beberapa murid di baris belakang, bahkan depan sekalipun, menyandarkan dagunya di meja, bertumpu pada tangan yang masih harum nan halus. Perhatian mereka tak tercurahkan untuk wanita yang bersusah mendidik dengan ikhlas di depan kelas. Sebagian sibuk dengan kebanggannya terhadap teknologi yang demikian canggih berbentuk ‘handphone’. Yang lainnya terkantuk-kantuk. Sungguh bukanlah hal yang indah dipandang. Namun kenyataannya inilah yang terjadi disekitar remaja pelajar yang mengaku ‘jaman sekarang’.

@xi ips 3 , jum’at 25 februari 2011 pk 07.03