...aku menari bersama senja diiringi nyanyian hujan yang membekukan... ..

☂☂☂

April 03, 2011

Bersenandung Bersama Waktu

“Banguuun… banguuun…” sebuah teriakan berkumandang di telingaku.
Sambil mencoba membuka mata, aku berusaha bangun dan tersadar dari tidur lelapku. Sesaat kemudian setelah sadar dari mati suri-ku semalam, aku berusaha mengatakan sesuatu kepada adik manis yang duduk di bibir ranjangku. Namun aku tak kuasa mengeluarkan sepatah katapun, mungkin karena seluruh energiku belum terkumpul sempurna. Hanya seulas senyum yang kuberikan padanya. Mungkin itu adalah senyuman terindahku sepanjang hari ini dan beberapa hari kedepan. Sebab telah kupastikan, beberapa waktu yang akan datang aku hanya akan diselimuti bait-bait kesedihan.
“Mbak Diah, banguun… Udah jam sepuluh nih!” ucapnya lagi, masih dengan nada kalimat yang sama. Dengan cempreng suara yang sama pula. Juga dengan kebohongan yang sama. Ia selalu mengatakan hal yang serupa setiap kali membangunkanku. Padahal hari masih gelap, shubuh-pun belum memanggil.
“Iya, cantik. Udah bangun tauk!”
“Mana, kok masih merem sih matanya?”
“Ini udah melek, sayang!”
“Kalau gitu cepet bangun dong. Seragam aku kan belom disetrika. Tolong ya mbaaak.”
“Iya…iya.”
Akupun beranjak bangun dan bergegas melaksanakan permintaan Dinar, adikku yang baru duduk dikelas satu SD itu.

ö ö ö

Di ufuk timur, matahari mulai keluar dari peraduannya. Sesegera mungkin menyinari berbagai makhluk yang ada di bumu. Ia tak pilih kasih, sinarnya memancar bagi siapa saja yang memerlukan. Iapun tidak meminta imbalan, mungkin ia hanya mengharapkan seluruh makhluk di bumi menjaga kepercayaannya.
Sama seperti keberadaan seorang ibu yang senantiasa mengasihi dan menyayangi anak-anaknya sepanjang masa dan tiada pernah terkira. Tiada terhitung pula segala yang telah diberikannya. Sungguh luar biasa, aku menyadarinya sejak dulu dari hati kecilku yang paling dalam. Namun entah mengapa, untuk saat ini aku seperti dihujani butir-butir keraguan. Seakan-akan aku ragu dengan kenyataan yang semanis itu.
Besok, tanggal 25 Maret adalah hari bersejarah bagi keluarga besarku, khususnya untuk Mas Kis, begitu aku biasa memanggilnya.sebab, besok merupakan hari dimana ia di wisuda dari studi teknik sipilnya di sebuah Universitas di Solo. Itu merupakan sebuah kebanggan bagiku, tentu apabila aku bisa menghadiri acara tersebut tanpa terlewat sedetikpun. Bahkan begitu dekatnya kami, mungkin aku takkan beranjak dari tempat duduk, sekalipun untuk ke kamar kecil. Oleh sebab itu, sejak beberapa bulan lalu aku sangat menanti tibanya esok hari. Namun bila menyadari dimana aku saat ini berada, pupus sudah harapan terbesarku untuk dapat menghadiri acara wisudanya. Jarak dan waktu seolah-olah terbentang sangat jelas didepan mataku. Memang benar nyatanya, jarak Jakarta-Solo mustahil ditempuh dalam waktu kurang dari 12 jam menggunakan jalur darat. Ditambah lagi ketidakpastian dari kedua orang tuaku, kakak dari Mas Kis, untuk hadir atau tidak dalam gawe besar tersebut.
Kalau ditanya apa keinginanku saat ini, tentu aku akan langsung menjawab dengan nada yang tegas dan lantang, bahkan apabila berteriak adalah sopan maka aku akan berteriak untuk mengatakan bahwa aku sangat ingin menghadiri acara tersebut.
Seuntai musik merdu mengalun lembut dari ponselku. Menandakan bahwa sebuah pesan telah masuk. Membuyarkan lamunanku dari alam jauh di Solo sana.

Sender     :    Julechan
Received  :    06:27:24 am [24.Mar.2010]
Aslm. Pagi, peringkat empat! Nnti jd kann? Ktmuan di 21penvil yee jam 12. Bilangin yg laen jga dong tlg. Sblmnya sori maafmaaf nih klo smsnya bru bsa dibales. Cz bru dpet izin dr asrama. Ok sgtu aja, tq. Jangan lupa yee!

Dari Krishna, teman sekelas yang sedikit banyak telah memberikan perubahan yang berarti dalam hidupku. Termasuk perubahan jauh ke dalam lumbung perasaanku. Mungkin telah hadir benih-benih perasaan lain terhadapnya, namun aku selalu membatasi semua yang terjadi. Tapi tidak untuk urusan pelajaran. Seperti yang dilakukannya tadi, menanyakan kepastian kegiatan kelompok kami. Rencananya hari ini kami akan pergi ke tempat kumuh yang ia sarankan untuk memenuhi tugas liburan, tentunya disertai anggota kelompok yang lainnya (baca: bukan hanya berdua).
   
To : Julechan
Waslm. Pagi juga peringkat sepuluuuuuh! Pasti jadi dongs, kalo ga jadi taruhannya nilai nih. Sipp deh trserah kau saja. Ak hanya mengekor. Hoho. Yg lain udh tau smua kö. Yg pnting nnti jgn ngarett yaah.

Setelah menutup message dari Jule –begitu ia biasa disapa– dan membalasnya, tiba-tiba pikiranku bercabang menjadi dua. Antara pergi kerja kelompok atau kekeuh menuntut agar aku bisa menghadiri acara wisuda. Sungguh dua hal yang sama-sama aku yakini akan memberikan kebahagiaan. Karena pada keduanya penyemangatku berada. Namun, sangat mustahil untuk aku lakukan dalam waktu yang bersamaan. Apalagi, sampai saat ini kedua orangtua–ku belum memberikan kepastiannya.

ö ö ö

Pukul 11.00 WIB, Hari Rabu
“Assalamu’alaikum, aku berangkat dulu ya, ma!” ucapku seraya bergegas pergi.
“Kamu mau kemana? Nggak ikut pulang?” tanya mama
“Emang jadi?”
“Ya, nggak tau. Tanya bapak sana!”
Kalo gitu aku kerja kelompok dulu!”
“Dimana? Jangan lama-lama ya.”
“Iya, assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumsalam” samar-samar terdengar jawaban salamku diucapkan oleh mama.
Setelah mencium tangan dan mengucapkan salam, aku berangkat dengan disertai berbagai perasaan. Satu sisi aku ingin tetap menyelesaikan tugas penelitian kelompok. Namun sisi yang lain aku juga ingin untuk menghadiri acara wisuda. Sementara apabila aku menghadiri acara wisuda tersebut, aku pasti tidak akan menyelesaikan tugas kelompok hari ini juga.
Meskipun diliputi berbagai perasan yang tak menentu, aku tetap melanjutkan perjalanan. Aku semakin tidak sabar untuk bertemu Meitha, seorang perempuan berambut panjang, lurus, dan hitam yang sejak bulan lalu menjadi tempat sampah semua cerita-ceritaku, untuk menceritakan perjalanan cerita yang membuat aku berperasaan tak menentu seperti saat ini. Aku juga berharap ia akan memberikan solusi yang setidaknya mampu membuatku sedikit lebih tenang.
“Udah lama nunggu, Ta?” tanyaku refleks ketika bertemu Meitha.
“Enggak kok. Baru aja sampe. Yaudah kita sekarang langsung berangkat aja ya. Naik apa?”
“Tuh angkotnya, naik yuk!” kataku sambil masuk ke dalam angkot, diikuti Meitha dibelakangku. “Ta, gue pengen cerita nih”
“Cerita apa??? Cerita aja.”
Aku mulai berbicara menyusun kata demi kata dan merangkainya untuk disampaikan ke Meitha. Tak satu katapun terlewat. Ia semakin paham. Sesaat kemudian ia mengutarakan apa yang terlintas dalam benaknya. Cukuplah untuk membuat aku sedikit lebih tenang. Meskipun sebenarnya masih ada hal-hal yang mengganjal dalam pikiranku.

ö ö ö

“Udah hampir satu jam nih kita bertiga nunggu disini. Yang lain mana lagi?” tanyaku pada Meitha dan Jule, “Jule, tolong tanyain yang lainnya dong. Lo kan banyak pulsa. Tolong ya.” ucapku gusar diselingi pernyataan canda.
“Iya, Jule! Diah lagi ada keperluan tuh.” Meitha menambahkan.
“Iya, bentar ya!” jawabnya singkat
Disaat Jule mencoba menghubungi anggota kelompok lainnya, ponselku berdering. Terpampang dilayar bahwa ada sebuah panggilan, dari rumah.
“Halo, assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumsalam. Kamu dimana? Pulang sekarang ya!” terdengar suara tegas bapak diseberang sana.
“Aku lagi kerja kelompok di daerah Pejaten. Emang kenapa?” jawabku singkat.
“Kamu nggak ikut pulang? Udah pokoknya kamu pulang kerumah sekarang ya. Kamu kan belum rapiin baju.”
“Tapi aku belum kerja kelompok. Aku kerja kelompok dulu deh ya, sebentar.”
“Yaudah, jangan lama-lama. Terus langsung pulang.”
“Iya”
Perasaanku lega. Perasaanku lebih tenang mendengar kalimat-kalimat bapak yang mengisyaratkan bahwa kami akan pulang ke kampung halaman. Itu sama saja artinya bahwa aku akan bertemu, bahkan menyaksikan peringatan detik–detik yang berarti sepanjang perjalanan hidup Mas Kis, om–ku tersayang, sejak tahun 1987 silam.
Beberapa menit kemudian, kami sekelompok telah berkumpul dan berjalan beramai-ramai menuju tempat penelitian. Teman-teman sekelompokku lainnya telah mengerti bahwa setelah ini aku memiliki keperluan mendesak lain. Merekapun menyetarakan waktu dan tidak berlama-lama.

Tiga puluh menit kemudian.
“Jule, Cuma ini aja kan? Berarti gue bisa pulang dong sekarang! Ya ya ya ...” ucapku setengah berharap.
“Iya, kita pulang sekarang ya.” Meitha menambahkan.
“Yaudah deh. Terus, ngerjain laporannya gimana?” tanyanya
“Gue yang ngerjain deh kalo sempet, sekalian minta bantuin sodara gue yang dikampung.”
“Hmm.. Boleh tuh.”
“Tapi kalau gue sms untuk nanya sesuatu yang berkaitan dengan laporan, harus bales ya!” pintaku tegas.
“Sipp.” jawab semuanya kompak.
“Oke, kalau gitu sekarang lo sebrangin gue ya. Jalannya terlalu ramai untuk ditaklukkan.” pintaku pada Jule.
Bisa aja deh si anak bahasa. Tapi oke bos!” jawabnya bercanda. Aku memang terkadang dipanggil dengan sebutan seperti itu, tapi hanya oleh Jule. Mungkin karena faktor kalimat yang terucap dari bibir mungilku ini selalu tersusun rapi dan dikaitkan dengan EYD.
Ta, lo ikut pulang nggak?” tanyaku pada Meitha yang berada kurang dari 500meter disebelah kananku.
“Iya, gue bareng lo.”
Hening.
Setelah berhasil menaklukan jalanan yang ramai dengan kendaraan, aku dan Meitha beranjak masuk ke salah satu angkot yang bertuliskan angka 11 dan berwarna merah. Julian dan kawan-kawan yang lain menyampaikan salam perpisahannya sambil bercanda, begitu pula dengan Putri yang sejak awal sibuk bersenda gurau dengan Rama.
Didalam angkot, pikiranku tak henti melayang ke rumah dan ke kampung. Gelisah apakah aku dapat pula menaklukan waktu untuk dapat menghadiri acara wisuda. Dihadapanku, Meitha nampak diam saja. Entah apa yang sedang dipikirkannya, aku tak pernah tahu. Dan sekarang ini bukanlah saat yang tepat untukku menebak apa yang dipikirkan Meitha. Yang aku pikirkan hanyalah masalah waktu.
ö ö ö

Pukul 17.03 WIB, Hari Rabu
“Mama, kok bis-nya belom berangkat sih?” seru Dinar–adikku–sambil merengek.
“Sabar, ya. Pak Sopirnya lagi makan dulu kali”
Saat ini, kami sekeluarga sedang berada dalam sebuah bus antar kota-antar provinsi yang namanya mungkin tidak harus disebutkan. Kami berempat hanya menunggu waktu kapan bus yang kami tumpangi ini akan berangkat. Sebab hanya satu hal yang kami pikirkan, bagaimana cara menjangkau jarak Jakarta-Semarang hanya sampai pukul 03.00 esok dini hari, sementara saat ini saja kami masih di lingkungan terminal Lebak Bulus.
Beberapa menit yang lalu, saudaraku yang berada di kampung memberikan kabar bahwa acara wisuda besok dimulai pukul 07.00, dan mereka akan menempuh jarak Pati-Solo sejak pukul 03.00. Sama saja halnya aku harus menaklukan jarak Jakarta-Pati selama 10jam jika ingin turut dalam acara wisuda, dan itu adalah MUSTAHIL!
Selama perjalanan, aku dan Dinar, hanya berdiam diri. Meskipun ia masih kecil, tapi ia dapat merasakan perasaan sayang yang begitu mendalam. Kami berdua sama inginnya untuk mengikuti prosesi wisuda saudara terdekat kami itu. Dan kamipun sama-sama tahu bahwa hal itu takkan mungkin kami rasakan.

ö ö ö

Pukul 04.27 WIB, Hari Kamis
“Sekarang kita langsung pulang aja ya. Udah nggak mungkin kalau kita ke Solo.” ucap bapak sambil menenangkan kedua anaknya yang pastinya merasa sedih dan sangat ingin menghadiri acara.
“Iya” jawabku singkat. Meski begitu, tetap saja terbesit perasaan kecewa dihatiku. Bayangkan saja, satu hari yang telah ditunggu-tunggu sejak enam bulan lalu kini telah pupus dan hilang seiring berjalannya waktu.
Bahkan, sepanjang hari ini aku hanya menyibukkan diri untuk mengerjakan tugas yang memang sengaja aku bawa. Tak ada seuntai senyum-pun yang tercipta. Mungkin ini adalah kekecewaan terbesar yang aku rasakan. Bagaimana tidak, enam bulan lalu sejak diberitahu adanya acara wisuda ini, aku sangat bergembira dan berusaha untuk dapat menghadirinya. Tetapi kesempatan tidak berpihak padaku. Mungkin aku sedang tidak diizinkan untuk menghadiri acara itu secara langsung.
Ponselku berdering. Ada sms.

Sender     :    akiss
Received :    05:17:24pm [25.Mar.2010]
ta, makasih ya udah dsempetin bwt pulg walo lum bs dateng wsuda maz.tp mksh bgt dah ad niat bwat pulg.slm mksh bwt ma2” ma bpk ya

Dari mas Kis. Sungguh pesan yang menyentuh relung perasaanku. Isinya singkat, namun membuatku menyesali keadaan sekaligus terharu akan penghargaan yang diutarakan.

ö ö ö

Esoknya, kesedihanku sedikit mulai berkurang karena melihat berjuta senyum berceceran disekelilingku. Senyuman-senyuman itu berasal dari seluruh keluarga besarku yang hendak menyambut prosesi lamaran kakak dari om-ku yang kemarin di-wisuda, Mas Nobegitu ia biasa disapananti malam usai maghrib.
Sepanjang acara lamaran, aku sibuk ber-sms-an ria dengan Mas Kis. Dari sekian banyak waktu kami berbalas sms, intinya ia sekarang sedang dalam perjalanan pulang ke rumah. Aku merasa sedikit bahagia, setidaknya dengan kepulangannya kerumah dapat membantu meringankanku mengerjakan tugas. Alasan lainnya, aku pasti dapat membujuknya untuk mengajakku berjalan-jalan.
Namun sebenarnya bukan hanya sebatas itu. Mungkin dengan kehadirannya disisiku dapat menciptakan aura indah dalam diriku. Sebab hanya dirinyalah makhluk yang selama ini mengisi pori-pori lubuk hatiku.

ö ö ö

Pukul 08.24 WIB, Hari Sabtu
“Bangun, bangun. Mas, jadi jalan-jalan kan?” aku berkata lembut sambil menggoyangkan tubuh laki-laki dihadapanku ini.
“Iyaa” ucapnya samar-samar.
“Cepet bangun dong! Kata mama berangkat pagi aja. Kan aku nanti sore udah pulang ke Jakarta.”
“Yaudah, kamu rapi-rapi sana.”
“Iya bos.” jawabku cepat mengalahkan kilat.
Seperti dugaanku kemarin, dengan kedatangannya pasti aku bisa merasakan berjalan-jalan di kampung halaman yang sudah cukup lama tak ku jelajahi. Rencana hari ini, kami akan pergi ke salah satu mall sederhana namun tak kalah indah dengan mall-mall yang berjejer di Jakarta, namanya “Luwes”.
Beberapa jam disana telah mampu menciptakan berjuta-juta senyum indahku yang beberapa hari lalu terpendam dan tak kuasa ku rangkai. Bayangkan saja, bagaimana bisa aku tidak bahagia sementara makhluk indah itu selalu disampingku. Meskipun perasaannya hanya sebatas adik kepadaku, tetap tak menyurutkan kebahagiaan diriku disampingnya.
Mungkin inilah pengganti dari harapanku yang pupus karena waktu. Pengganti keindahan yang semula ku anggap sebagai yang terindah.

ö ö ö

Landasan Filosofis: "Harapan adalah tabir alami untuk   menyembunyikan ketelanjangan kebenaran."Alfred Bernhard Nobel, Penemu-Ilmuwan Swedia

2 komentar:

Retnowati mengatakan...

"ta, makasih ya udah dsempetin bwt pulg walo lum bs dateng wsuda maz.tp mksh bgt dah ad niat bwat pulg.slm mksh bwt ma2” ma bpk ya"
kenapa manggilnya ta? bukanya namanya diah ya?
tp baguss kok

nia mengatakan...

cieeee juara 2 :3