“Banguuun…
banguuun…” sebuah teriakan berkumandang di telingaku.
Sambil mencoba
membuka mata, aku berusaha bangun dan tersadar dari tidur lelapku. Sesaat
kemudian setelah sadar dari mati suri-ku semalam, aku berusaha mengatakan sesuatu
kepada adik manis yang duduk di bibir ranjangku. Namun aku tak kuasa
mengeluarkan sepatah katapun, mungkin karena seluruh energiku belum terkumpul
sempurna. Hanya seulas senyum yang kuberikan padanya. Mungkin itu adalah
senyuman terindahku sepanjang hari ini dan beberapa hari kedepan. Sebab telah
kupastikan, beberapa waktu yang akan datang aku hanya akan diselimuti bait-bait
kesedihan.
“Mbak Diah,
banguun… Udah jam sepuluh nih!” ucapnya lagi, masih dengan nada kalimat yang
sama. Dengan cempreng suara yang sama pula. Juga dengan kebohongan yang sama.
Ia selalu mengatakan hal yang serupa setiap kali membangunkanku. Padahal hari
masih gelap, shubuh-pun belum memanggil.
“Iya, cantik.
Udah bangun tauk!”
“Mana, kok masih
merem sih matanya?”
“Ini udah melek,
sayang!”
“Kalau gitu
cepet bangun dong. Seragam aku kan belom disetrika. Tolong ya mbaaak.”
“Iya…iya.”
Akupun beranjak
bangun dan bergegas melaksanakan permintaan Dinar, adikku yang baru duduk
dikelas satu SD itu.
ö ö ö
Di ufuk timur,
matahari mulai keluar dari peraduannya. Sesegera mungkin menyinari berbagai
makhluk yang ada di bumu. Ia tak pilih kasih, sinarnya memancar bagi siapa saja
yang memerlukan. Iapun tidak meminta imbalan, mungkin ia hanya mengharapkan
seluruh makhluk di bumi menjaga kepercayaannya.
Sama seperti
keberadaan seorang ibu yang senantiasa mengasihi dan menyayangi anak-anaknya
sepanjang masa dan tiada pernah terkira. Tiada terhitung pula segala yang telah
diberikannya. Sungguh luar biasa, aku menyadarinya sejak dulu dari hati kecilku
yang paling dalam. Namun entah mengapa, untuk saat ini aku seperti dihujani
butir-butir keraguan. Seakan-akan aku ragu dengan kenyataan yang semanis itu.
Besok, tanggal
25 Maret adalah hari bersejarah bagi keluarga besarku, khususnya untuk Mas Kis,
begitu aku biasa memanggilnya.sebab, besok merupakan hari dimana ia di wisuda
dari studi teknik sipilnya di sebuah Universitas di Solo. Itu merupakan sebuah
kebanggan bagiku, tentu apabila aku bisa menghadiri acara tersebut tanpa
terlewat sedetikpun. Bahkan begitu dekatnya kami, mungkin aku takkan beranjak
dari tempat duduk, sekalipun untuk ke kamar kecil. Oleh sebab itu, sejak
beberapa bulan lalu aku sangat menanti tibanya esok hari. Namun bila menyadari
dimana aku saat ini berada, pupus sudah harapan terbesarku untuk dapat
menghadiri acara wisudanya. Jarak dan waktu seolah-olah terbentang sangat jelas
didepan mataku. Memang benar nyatanya, jarak Jakarta-Solo mustahil ditempuh
dalam waktu kurang dari 12 jam menggunakan jalur darat. Ditambah lagi
ketidakpastian dari kedua orang tuaku, kakak dari Mas Kis, untuk hadir atau
tidak dalam gawe besar tersebut.
Kalau ditanya
apa keinginanku saat ini, tentu aku akan langsung menjawab dengan nada yang tegas
dan lantang, bahkan apabila berteriak adalah sopan maka aku akan berteriak
untuk mengatakan bahwa aku sangat ingin menghadiri acara tersebut.
Seuntai musik
merdu mengalun lembut dari ponselku. Menandakan bahwa sebuah pesan telah masuk.
Membuyarkan lamunanku dari alam jauh di Solo sana.
Sender : Julechan
Received : 06:27:24
am [24.Mar.2010]
Aslm.
Pagi, peringkat empat! Nnti jd kann? Ktmuan di 21penvil yee jam 12. Bilangin yg
laen jga dong tlg. Sblmnya sori maafmaaf nih klo smsnya bru bsa dibales. Cz bru
dpet izin dr asrama. Ok sgtu aja, tq. Jangan lupa yee!
Dari
Krishna, teman sekelas yang sedikit banyak telah memberikan perubahan yang
berarti dalam hidupku. Termasuk perubahan jauh ke dalam lumbung perasaanku.
Mungkin telah hadir benih-benih perasaan lain terhadapnya, namun aku selalu
membatasi semua yang terjadi. Tapi tidak untuk urusan pelajaran. Seperti yang
dilakukannya tadi, menanyakan kepastian kegiatan kelompok kami. Rencananya hari
ini kami akan pergi ke tempat kumuh yang ia sarankan untuk memenuhi tugas
liburan, tentunya disertai anggota kelompok yang lainnya (baca: bukan hanya
berdua).
To : Julechan
Waslm. Pagi juga peringkat sepuluuuuuh! Pasti jadi
dongs, kalo ga jadi taruhannya nilai nih. Sipp deh trserah kau saja. Ak hanya
mengekor. Hoho. Yg lain udh tau smua kö. Yg pnting nnti jgn ngarett yaah.
Setelah menutup
message dari Jule –begitu ia biasa disapa– dan membalasnya, tiba-tiba pikiranku
bercabang menjadi dua. Antara pergi kerja kelompok atau kekeuh menuntut agar
aku bisa menghadiri acara wisuda. Sungguh dua hal yang sama-sama aku yakini
akan memberikan kebahagiaan. Karena pada keduanya penyemangatku berada. Namun,
sangat mustahil untuk aku lakukan dalam waktu yang bersamaan. Apalagi, sampai
saat ini kedua orangtua–ku belum memberikan kepastiannya.
ö ö ö
Pukul 11.00 WIB, Hari Rabu
“Assalamu’alaikum, aku berangkat dulu ya, ma!”
ucapku seraya bergegas pergi.
“Kamu mau kemana? Nggak ikut pulang?” tanya mama
“Emang jadi?”
“Ya, nggak tau. Tanya bapak sana!”
“Kalo
gitu aku kerja kelompok dulu!”
“Dimana? Jangan lama-lama ya.”
“Iya, assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumsalam” samar-samar terdengar jawaban
salamku diucapkan oleh mama.
Setelah mencium tangan dan mengucapkan salam, aku
berangkat dengan disertai berbagai perasaan. Satu sisi aku ingin tetap
menyelesaikan tugas penelitian kelompok. Namun sisi yang lain aku juga ingin
untuk menghadiri acara wisuda. Sementara apabila aku menghadiri acara wisuda
tersebut, aku pasti tidak akan menyelesaikan tugas kelompok hari ini juga.
Meskipun diliputi berbagai perasan yang tak
menentu, aku tetap melanjutkan perjalanan. Aku semakin tidak sabar untuk
bertemu Meitha, seorang perempuan berambut panjang, lurus, dan hitam yang sejak bulan lalu menjadi
tempat sampah semua cerita-ceritaku, untuk menceritakan perjalanan cerita yang
membuat aku berperasaan tak menentu seperti saat ini. Aku juga berharap ia akan
memberikan solusi yang setidaknya mampu membuatku sedikit lebih tenang.
“Udah lama nunggu, Ta?” tanyaku refleks ketika bertemu Meitha.
“Enggak kok. Baru aja sampe. Yaudah kita sekarang
langsung berangkat aja ya. Naik apa?”
“Tuh angkotnya, naik yuk!” kataku sambil masuk ke
dalam angkot, diikuti Meitha
dibelakangku. “Ta, gue pengen cerita nih”
“Cerita apa??? Cerita aja.”
Aku mulai berbicara menyusun kata demi kata dan
merangkainya untuk disampaikan ke Meitha. Tak satu katapun
terlewat. Ia semakin paham. Sesaat
kemudian ia mengutarakan apa
yang terlintas dalam benaknya. Cukuplah untuk membuat aku sedikit lebih
tenang. Meskipun sebenarnya masih ada hal-hal yang mengganjal dalam pikiranku.
ö ö ö
“Udah hampir satu jam nih kita bertiga nunggu
disini. Yang lain mana lagi?” tanyaku pada Meitha dan Jule, “Jule, tolong
tanyain yang lainnya dong. Lo kan banyak pulsa. Tolong ya.” ucapku gusar diselingi pernyataan canda.
“Iya, Jule! Diah lagi ada keperluan tuh.” Meitha menambahkan.
“Iya, bentar ya!” jawabnya singkat
Disaat Jule mencoba menghubungi anggota kelompok
lainnya, ponselku berdering. Terpampang dilayar bahwa ada sebuah panggilan,
dari rumah.
“Halo, assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumsalam. Kamu dimana? Pulang sekarang
ya!” terdengar suara tegas bapak diseberang sana.
“Aku lagi kerja kelompok di daerah Pejaten. Emang
kenapa?” jawabku singkat.
“Kamu nggak ikut pulang? Udah pokoknya kamu
pulang kerumah sekarang ya. Kamu kan belum rapiin baju.”
“Tapi aku belum kerja kelompok. Aku kerja
kelompok dulu deh ya, sebentar.”
“Yaudah, jangan lama-lama. Terus langsung
pulang.”
“Iya”
Perasaanku lega. Perasaanku lebih tenang
mendengar kalimat-kalimat bapak yang mengisyaratkan bahwa kami akan pulang ke
kampung halaman. Itu sama saja
artinya bahwa aku akan bertemu, bahkan menyaksikan peringatan detik–detik
yang berarti sepanjang perjalanan hidup Mas Kis, om–ku tersayang, sejak tahun
1987 silam.
Beberapa menit kemudian, kami sekelompok telah
berkumpul dan berjalan beramai-ramai menuju tempat penelitian. Teman-teman
sekelompokku lainnya telah mengerti bahwa setelah ini aku memiliki keperluan
mendesak lain. Merekapun menyetarakan waktu dan tidak berlama-lama.
Tiga puluh menit kemudian.
“Jule, Cuma ini aja kan? Berarti gue bisa pulang
dong sekarang! Ya ya ya ...” ucapku setengah berharap.
“Iya, kita pulang sekarang ya.” Meitha menambahkan.
“Yaudah deh. Terus, ngerjain laporannya gimana?”
tanyanya
“Gue yang ngerjain deh kalo sempet, sekalian
minta bantuin sodara gue yang dikampung.”
“Hmm.. Boleh tuh.”
“Tapi kalau gue sms untuk nanya sesuatu yang
berkaitan dengan laporan, harus bales ya!” pintaku tegas.
“Sipp.” jawab semuanya kompak.
“Oke, kalau gitu sekarang lo sebrangin gue ya.
Jalannya terlalu ramai untuk ditaklukkan.” pintaku pada Jule.
“Bisa
aja deh si anak bahasa. Tapi oke bos!” jawabnya bercanda. Aku memang terkadang dipanggil dengan sebutan seperti
itu, tapi hanya oleh Jule. Mungkin karena faktor kalimat yang terucap dari
bibir mungilku ini selalu tersusun rapi dan dikaitkan dengan EYD.
“Ta, lo ikut pulang nggak?”
tanyaku pada Meitha yang berada kurang dari
500meter disebelah kananku.
“Iya, gue bareng lo.”
Hening.
Setelah berhasil menaklukan jalanan yang ramai
dengan kendaraan, aku dan Meitha beranjak masuk ke salah
satu angkot yang bertuliskan angka 11
dan berwarna merah. Julian dan kawan-kawan yang lain menyampaikan salam
perpisahannya sambil bercanda,
begitu pula dengan Putri yang sejak awal sibuk bersenda gurau dengan
Rama.
Didalam angkot, pikiranku tak henti melayang ke
rumah dan ke kampung. Gelisah apakah aku dapat pula menaklukan waktu untuk
dapat menghadiri acara wisuda. Dihadapanku, Meitha nampak diam saja. Entah apa yang sedang
dipikirkannya, aku tak pernah tahu. Dan sekarang ini bukanlah saat yang tepat
untukku menebak apa yang dipikirkan Meitha. Yang aku pikirkan
hanyalah masalah waktu.
ö ö ö
Pukul 17.03 WIB, Hari Rabu
“Mama, kok bis-nya belom berangkat sih?” seru Dinar–adikku–sambil merengek.
“Sabar, ya. Pak Sopirnya lagi makan dulu kali”
Saat ini, kami sekeluarga sedang berada dalam
sebuah bus antar kota-antar provinsi yang namanya mungkin tidak harus
disebutkan. Kami berempat hanya menunggu waktu kapan bus yang kami tumpangi ini
akan berangkat. Sebab hanya satu hal yang kami pikirkan, bagaimana cara
menjangkau jarak Jakarta-Semarang hanya sampai pukul 03.00 esok dini hari,
sementara saat ini saja kami masih di lingkungan terminal Lebak Bulus.
Beberapa menit yang lalu, saudaraku yang berada
di kampung memberikan kabar bahwa acara wisuda besok dimulai pukul 07.00, dan mereka akan menempuh jarak
Pati-Solo sejak pukul 03.00. Sama saja halnya aku harus menaklukan jarak
Jakarta-Pati selama 10jam jika ingin turut dalam acara wisuda, dan itu adalah MUSTAHIL!
Selama perjalanan, aku dan Dinar, hanya berdiam
diri. Meskipun ia masih kecil, tapi
ia dapat merasakan perasaan sayang yang begitu mendalam. Kami berdua sama inginnya
untuk mengikuti prosesi wisuda saudara terdekat kami itu. Dan kami–pun sama-sama tahu bahwa
hal itu takkan mungkin kami rasakan.
ö ö ö
Pukul 04.27 WIB, Hari Kamis
“Sekarang kita langsung pulang aja ya. Udah nggak
mungkin kalau kita ke Solo.” ucap bapak sambil menenangkan kedua anaknya yang
pastinya merasa sedih dan sangat ingin menghadiri acara.
“Iya” jawabku singkat. Meski begitu, tetap saja
terbesit perasaan kecewa dihatiku. Bayangkan saja, satu hari yang telah
ditunggu-tunggu sejak enam bulan lalu kini telah pupus dan hilang seiring
berjalannya waktu.
Bahkan, sepanjang hari ini aku hanya menyibukkan
diri untuk mengerjakan tugas yang memang sengaja aku bawa. Tak ada seuntai
senyum-pun yang tercipta. Mungkin ini adalah kekecewaan terbesar yang aku
rasakan. Bagaimana tidak, enam bulan lalu sejak diberitahu adanya acara wisuda
ini, aku sangat bergembira dan berusaha untuk dapat menghadirinya. Tetapi
kesempatan tidak berpihak padaku. Mungkin aku sedang tidak diizinkan untuk
menghadiri acara itu secara langsung.
Ponselku berdering. Ada sms.
Sender : akiss
Received
: 05:17:24pm
[25.Mar.2010]
ta, makasih ya udah dsempetin bwt pulg walo lum bs
dateng wsuda maz.tp mksh bgt dah ad niat bwat pulg.slm mksh bwt ma2” ma bpk ya
Dari mas Kis. Sungguh pesan yang menyentuh relung
perasaanku. Isinya singkat, namun membuatku menyesali keadaan sekaligus terharu
akan penghargaan yang diutarakan.
ö ö ö
Esoknya, kesedihanku sedikit mulai berkurang karena melihat
berjuta senyum berceceran disekelilingku. Senyuman-senyuman itu berasal dari
seluruh keluarga besarku yang hendak menyambut prosesi lamaran kakak dari om-ku
yang kemarin di-wisuda, Mas No–begitu ia biasa disapa–nanti malam usai maghrib.
Sepanjang acara lamaran, aku sibuk ber-sms-an ria
dengan Mas Kis. Dari sekian banyak waktu kami berbalas sms, intinya ia sekarang
sedang dalam perjalanan pulang ke rumah. Aku merasa sedikit bahagia, setidaknya
dengan kepulangannya kerumah dapat membantu meringankanku mengerjakan tugas.
Alasan lainnya, aku pasti dapat membujuknya untuk mengajakku berjalan-jalan.
Namun sebenarnya bukan hanya sebatas itu. Mungkin dengan kehadirannya
disisiku dapat menciptakan aura indah dalam diriku. Sebab hanya dirinyalah
makhluk yang selama ini mengisi pori-pori lubuk hatiku.
ö ö ö
Pukul 08.24 WIB, Hari Sabtu
“Bangun, bangun. Mas, jadi jalan-jalan kan?” aku
berkata lembut sambil menggoyangkan tubuh laki-laki dihadapanku ini.
“Iyaa” ucapnya samar-samar.
“Cepet bangun dong! Kata mama berangkat pagi aja.
Kan aku nanti sore udah pulang ke Jakarta.”
“Yaudah, kamu rapi-rapi sana.”
“Iya bos.” jawabku cepat mengalahkan kilat.
Seperti dugaanku kemarin, dengan kedatangannya
pasti aku bisa merasakan berjalan-jalan di kampung halaman yang sudah cukup
lama tak ku jelajahi. Rencana hari ini, kami akan pergi ke salah satu mall
sederhana namun tak kalah indah dengan mall-mall yang berjejer di Jakarta,
namanya “Luwes”.
Beberapa jam disana telah mampu menciptakan
berjuta-juta senyum indahku yang beberapa hari lalu terpendam dan tak kuasa ku
rangkai. Bayangkan saja,
bagaimana bisa aku tidak bahagia sementara makhluk indah itu selalu
disampingku. Meskipun perasaannya hanya sebatas adik kepadaku, tetap tak
menyurutkan kebahagiaan diriku disampingnya.
Mungkin inilah pengganti dari harapanku yang
pupus karena waktu. Pengganti keindahan yang semula ku anggap sebagai yang
terindah.
ö ö ö
Landasan Filosofis: "Harapan adalah tabir alami
untuk menyembunyikan ketelanjangan kebenaran."Alfred Bernhard Nobel,
Penemu-Ilmuwan Swedia
2 komentar:
"ta, makasih ya udah dsempetin bwt pulg walo lum bs dateng wsuda maz.tp mksh bgt dah ad niat bwat pulg.slm mksh bwt ma2” ma bpk ya"
kenapa manggilnya ta? bukanya namanya diah ya?
tp baguss kok
cieeee juara 2 :3
Posting Komentar