Jum’at.
Ketika itu, mentari masih menghangatkan tubuhku.
Awan-awan lembut dilangit mengiringi langkahku. Rambutku yang sengaja digerai
tertiup lembut oleh semilir angin yang menyusup melalui jendela kelas yang baru
saja kubuka. Kesejukan menghampiriku melalui pori-pori angan yang
mengelilingiku. Hayalku melayang menuju saat bahagia itu, ketika sesosok
manusia sangat biasa menyita separuh dari kekagumanku.
Sepintas tak ada sedikitpun hal yang membanggakan.
Parasnya yang biasa dan pribadinya yang tak jauh berbeda dengan kebanyakan
remaja seusianya semakin menguatkan bahwa tak ada kekaguman untuknya. Namun
tidak bagiku. Kepribadiannya sebagai anak asrama menyilaukan pandanganku.
Kesehariannya beberapa minggu setelah perkenalan kami memupuk rasa kagum dalam
hatiku. Betapa tidak? Rasa malasnya menyebabkan ia selalu jujur terhadap segala
kesibukannya. Dan entah mengapa, aku selalu ingin menjadi bagian dari
kemalasannya dengan selalu menjadi pengingat berjalan baginya.
Pernah aku bertanya padanya, perihal kebiasaannya
tidur ketika guru menjelaskan di depan kelas, berujung pada keluhnya padaku.
“Haduh iya nih, gue selalu kekurangan waktu buat tidur. Bayangin aja, setiap
hari sekolah pulang sore bahkan ngga jarang malem. Mulai dari maghrib sampai
malem, harus ikut jadwal kajian asrama dan lain sebagainya. Setelah itu,
ngerjain tugas sekolah sampai larut malem, bahkan sering ngga selesai karena
udah kecapean. Bukan cuma itu, pagi-pagi buta udah dibangunin lagi buat
tahajjud dan tadarus Al-Qur’an. Waah. Menyita tenaga banget, tapi sangat
menyenangkan.” Tanggapanku kala itu hanya, “hmm.. oh gitu, pantes...”
“Hayoo, Ifa lagi mikirin apa?” tiba-tiba sosok
Huwaida Azzahra memutus lamunanku dari alam yang entah ada dimana.
“Eh, Zahra. Baru dateng? Tumben agak siang, biasanya
kamu duluan daripada aku.”
“Iya, tadi umi nganterin Alfi dulu. Oh iya, nanti
kamu sama Riani jadi ke rumah aku?”
“Iya, jadi kok.”
“Oke deh, aku udah bilang umi kalau kalian mau main
ke rumah,” senyumnya mengembang, “tadi lagi mikirin apa hayo? Kok pandangannya
ke arah Fakhri terus sih?”
“Hah? Masa? Enggak kok.” Jawabku agak gugup.
“Kamu suka ya sama Fakhri?”
“Enggak kok. Kamu ada-ada aja sih. Udah ah, nggak
usah dibahas lagi.” Aku berusaha menutupi apa yang baru saja aku lakukan.
őőő
“Assalamu’alaikum, umi...”
“Wa’alaikumsalam...”
“Umi, ini ada temen-temen Zahra, Riani dan Ifa.”
“Sore, tante.” Sapaku dan Riani bersamaan.
“Sore. Ayo kalian langsung ke atas ya, ke kamar
Zahra aja. Satu lagi, jangan panggil tante ya, panggilnya umi aja, kalian kan
temannya Zahra.”
“Iya.... umi...” ucap kami masih agak canggung,
kemudian beranjak menuju kamar Zahra di lantai atas.
Hatiku sungguh damai berada di lingkungan keluarga
Zahra. Begitu islami. Aroma Al-Qur’an tercium begitu kuat dari sini. Membuatku
iri. Astaghfirullah...
Sepanjang sore itu, kami bertiga bersantai di kamar
Zahra yang penuh nuansa hijau. Batinku merasa bercahaya disini. Seakan ada
butiran salju yang menentramkan jiwa. Entah apa itu.
Terlebih ketika Zahra akan mengantar kami pulang. Ia
bercermin mengenakan jilbab. Mataku tak beralih dari memandangi gerak-geriknya.
Sebuah ketertarikan luar biasa. Bahkan, aku sampai meminta Zahra mengajariku
mengenakan jilbab dengan rapi.
őőő
Malam harinya, aku terus mematut diri di depan
cermin. Baying-bayang sosok Fakhri, Zahra, dan Bu Devi, wali kelas yang begitu
akrab denganku, seolah menari-nari bekeliling di sepanjang lintasan pigura
cermin. Tanpa kusadari, mataku terus meniti wajah dan rambutku di cermin. Mulai
dari gurat wajah sampai tekstur rambut.
Tiba-tiba tanganku tergerak mengambil ponsel dari
atas meja belajar. Mengetikkan sebuah pesan singkat untuk Zahra.
Ifa : Zahra,
Zahra : Iya, ada apa fa?
Ifa : Mau Tanya...
Zahra : Tanya apa?
Ifa : Kamu pakai jilbab sejak kapan?
Zahra : Aku sejak kecil, kenapa?
Ifa : Gimana rasanya berjilbab?
Zahra : Hmm... nyaman loh pakai jilbab. Kok tiba-tiba tanya
ini?
Ifa : Hehe ngga apa-apa kok. Makasih ya.
Aku masih mematut diri di depan cermin. Muncul
sesosok bayangan. Namun kali ini haya ada satu bayangan, hanya bayangan Fakhri,
Muhammad Amam Fakhri. Seorang laki-laki yang selama ini menyita kekagumanku.
Sosok panutan yang begitu kental dengan aroma keislaman yang selama ini aku
rindukan.
őőő
Senin, disekolah.
Langkahku terayun menapaki tiap-tiap anak tangga.
Suasana masih sepi, tapi aku merasakan telah ada sesosok yang menantiku. Aku
meneruskan langkah hingga mencapai kelas. Ketika tiba pada daun pintu, sosok
Fakhri tiba-tiba menatap ke arahku dengan pandangan yang agak berbeda. “Ifa...”
ucapnya reflesk.
Aku mengabaikannya, hanya membalas senyum sepintas.
Ia mengambil posisi mendekat. Wajahnya agak sedikit bercahaya, “kamu pakai
jilbab?” tanyanya ramah.
Aku hanya mengangguk tersenyum. Merasakan bait-bait
ketenangan mulai menyusup diantara rongga-rongga batinku. Perkenalanku dengan
Fakhri dan Zahra membawaku semakin hangat dengan Penciptaku. Satu hal yang sangat aku
dambakan.
Sabtu, 19 November 2011
&langit-langit bagi hamparan angin&