...aku menari bersama senja diiringi nyanyian hujan yang membekukan... ..

☂☂☂

Januari 13, 2013

Pekuburan Cinta


-1-

Pelangiku kelabu. Bulir-bulir air hangat ini tumpah ruah. Meluruhkan mejikuhibiniu keanggunannya. Ia meninggal.
Meninggal.
Ya. Ia sudah tiada. Kenangannya telah terkubur bersama raganya. Raga yang selalu membelai gundahku. Raga yang menjadi sandaran rapuhku. Raga yang menyatukan serpihan-serpihan kisah tak bernyawa. Namun, kini dihancurkannya lagi. Tinggal gelap yang menyiksaku.
Semburat cahaya lilin dari kue ulang tahun masih menemani hening. Sedari tadi. Tak muncul sedikitpun niatku untuk memadamkannya. Sekalipun angka tujuh belas begitu manis terbakar olehnya.
Sweet seventeen. Ya. Tujuh belas tahun yang begitu indah, sekaligus memilukan. Betapa tidak?
Hampir dua puluh empat jam lalu, sesaat setelah aku dibuat begitu bahagia karena menerima ucapan ulang tahun yang pertama –darinya– aku harus mengikhlaskan kepergiannya. Rayi.

PING!!!
PING!!!
PING!!!
PING!!!
PING!!!
Getar-getar segaja ini membangunkanku dari lamunan panjang alam mimpi. Tak lama kemudian, sebuah nada dering yang amat kurindukan terdengar dari salah satu sudut ranjang tempatku rebah.
Aku terduduk.
Klik.
“Happy sweet seventeen, sayang. Semogabla..bla..bla.. Suara diujung telepon terdengar amat bahagia. Begitupun diriku, dengan nyawa yang hampir terkumpul sempurna.
“Makasih ya, sayang.” Senyumku mengembang. Pandanganku terarah pada sepucuk surat yang muncul dari dalam kotak biru muda di dekat meja rias. Pasti mama yang meletakkannya disana, “kotak itu dari kamu?”
“Kotak yang mana, ya?”
“Hayo, jangan bohong sama aku.”
“Hehe, iya.” Cengirannya terekam jelas oleh memoriku. Pasti saat ini ia sedang menampakkan air muka yang sama.
“Makasih ya, Ra.”
“Udah, ah. Jangan bilang makasih terus. Kamu do’ain aku aja supaya nanti pagi udah bisa sampai Jakarta dengan selamat. Lantas bisa kasih surprise ke kamu.”
“Iya, iya.. Aku selalu do’ain kamu, kok. Dan kamu nggak perlu kasih surprise apa-apa lagi buat aku. Ini semua udah cukup, Ra.”
Tak ada suara yang menyahut.
“Dengan kamu menjadi pengucap dan pemberi hadiah pertama-pun udah cukup. Aku sayang kamu. Kamu hati-hati ya.”
Tut.. tut.. tut..
Telepon terputus.

Senyumku masih tersisa. Aku berharap detik ini akan selalu menjadi teman setiaku. Sekalipun kantuk menyergap. Aku kembali tertidur. Membawa semua kenangan tentang Rayi ke alam mimpi.


...Kamu do’ain aku aja supaya nanti pagi udah bisa sampai Jakarta dengan selamat. Lantas bisa kasih surprise ke kamu...
Deg.
Tangisku tumpah. Baru saja Tante Intan, mamanya Rayi, mengabariku tentang berita duka ini. Rayi pergi. Ternyata, kalimat terakhir Rayi semalam adalah benar-benar kalimat terakhirnya. Selamanya.
  Rayi mengalami kecelakaan serius saat mengendarai mobilnya menuju Jakarta. Padahal dalam waktu yang hampir bersamaan, bunga-bunga kebahagiaanku masih belum berhenti bermekaran. Seolah terjadi stock split[1] padanya.


Angka tujuh belas itu masih disana. Masih terbakar oleh api pertanda perpisahan. Aku masih belum berniat memadamkannya.
Pikiranku mengawang. Kuputuskan untuk melangkahkan kaki keluar, mencari sedikit kesejukan. Taman.
Salah! Adalah keputusan yang salah aku melangkah kesini. Nyatanya, lampu-lampu taman dan penataan meja yang begitu rapi menyisakan kenangan terakhir tentang Rayi. Rupanya, ia telah mempersiapkan pesta ulang tahunku dengan begitu indah melalui invisible hand-nya yang ada di Jakarta, Rama. Sekalipun raganya dituntut untuk fokus pada penelitian yang sedang dikerjakan, pikirannya tak sepenuhnya mampu memungkiri bahwa rasa sayangnya padaku begitu tulus. Terpaut usia lima tahun tak pernah sedikitpun membuatnya ragu. Katanya, aku berbeda. Aku tidak manja seperti kebanyakan remaja labil seusiaku. Aku manja pada saat-saat yang semestinya, begitu pendapat Rayi.
Aku selalu dibuatnya bahagia. Tersenyum adalah satu-satunya kebiasaanku ketika disisinya dan saat mengingatnya. Aku sayang Rayi.
Hujan lagi. Pelupuk mata ini sudah lelah menelurkan butir-butir kepedihan sejak tadi. Namun, apa daya. Perih masih saja hinggap saat raga sudah tak nampak.

Langkahku mendekati rangkaian bunga di sudut sebuah meja yang paling besar. Indah. Pasti Rayi yang memesan rangkaian detail khusus ini, gumamku. Aku selalu ingat bahwa Rayi selalu memilihkan bunganya sendiri. Detail rangkaiannya-pun selalu harus....perfectly.
Tanganku mengusap air mata yang hendak turun lagi. Aku berusaha membendungnya dari hadapan bunga terakhir persembahan Rayi.
Hatiku perih. Masih perih. Aku belum dapat percaya sepenuhnya kekasihku sudah tiada. Padahal beberapa malam sebelumnya ia masih memelukku. Erat. Sebuah pertanda perpisahan yang baru kusadari detik ini.
Aku kembali ke kamar. Lilin itu masih saja disana. Kuhampiri, kupadamkan perlahan.
Gelap. Layaknya malam yang semakin larut. Serupa nyawaku.
Kuletakkan rangkaian bunga di sudut meja rias. Kurebahkan tubuh yang teramat lelah ini. Kubiarkan nyawaku pergi ke belantara alam bawah sadar.


[1]     Stock split merupakan istilah ekonomi yang setara dengan proses pembagian saham menjadi dua bagian, sehingga jumlah saham yang sudah ada menjadi berlipat dan diharapkan dapat menaikkan harga jual saham di pasar.

Tidak ada komentar: