...aku menari bersama senja diiringi nyanyian hujan yang membekukan... ..

☂☂☂

Juni 11, 2011

Adinegoro


Bernama lahir Djamaluddin Datuk Marajo Sutan. Lahir di TalawiSumatera Barat14 Agustus 1904. Ayahnya bernama Usman gelar Baginda Chatib dan ibunya bernama Sadarijah. Ia merupakan adik tiri sastrawan Muhammad Yamin. Adinegoro merupakan nama samarannya. Hal itu bermula saat dirinya masuk STOVIA karena dorongan sang ayah yang menginginkan dirinya menjadi dokter. Namun, di STOVIA ia tidak diperbolehkan menulis, padahal keinginannya untuk menulis sangat tinggi. Maka, dipakainyalah nama samaran Adinegoro sebagai identitasnya yang baru. Dengan begitu, Ia bisa menyalurkan keinginannya untuk mempublikasikan tulisannya tanpa diketahui orang. Tulisan-tulisannya banyak menyerang Belanda secara halus, sehingga rumahnya sering digeledah dan diawasi. Ia lalu bertekad untuk menjadi seorang jurnalis dan memutuskan keluar dari sekolahnya di STOVIA.

Adinegoro kemudian belajar ilmu jurnalistik sampai ke Eropa, yaitu di Utrecht, Belanda, untuk menempuh studi ilmu sastra dan jurnalistik. Kemudian ia ke Jerman mengenyam pendidikan selama empat tahun di Berlin, Muenchen dan Wurzburg, untuk mendalami ilmu jurnalistik. Ia juga mempelajari kartografi, geografi, politik, dan geopolitik. Pengalaman belajar di Jerman tersebut banyak menambah pengetahuan dan wawasannya, terutama di bidang jurnalistik. 

Memulai karier sebagai wartawan di majalah Caya Hindia, sebagai pembantu tetap. Setiap minggu ia menulis artikel tentang masalah luar negeri di majalah tersebut. Ketika belajar di luar negeri (1926-1930), ia nyambi menjadi freelance journalist pada surat kabar Pewarta Deli (Medan), Bintang Timur, dan Panji Pustaka (Jakarta). Sekembali ke tanah air, ia memimpin majalah Panji Pustaka (1931), namun tidak bertahan lama, hanya enam bulan. Sesudah itu, ia memimpin surat kabar Pewarta Deli di Medan (1932-1942). Pernah memimpin Sumatra Shimbun selama dua tahun. Bersama Prof. Dr. Supomo, memimpin majalah Mimbar Indonesia (1948-1950). Selanjutnya, memimpin Yayasan Pers Biro Indonesia (1951). Terakhir, bekerja di Kantor Berita Nasional (kemudian menjadi LKBN Antara).

Karya tulisnya berupa novel yang terkenal adalah ‘Darah Muda’ (Batavia Centrum : Balai Pustaka1931), dan ‘Asmara Jaya(Batavia Centrum : Balai Pustaka1932). Dalam ke dua novelnya tersebut, Adinegoro berani menentang adat kuno yang berlaku dalam perkawinan. bukan hanya itu, ia juga berani memenangkan pihak kaum muda yang menentang adat kuno yang dijalankan oleh pihak kaum tua. Di samping kedua novel itu, Adinegoro juga menulis novel lainnya, yaitu ‘Melawat ke Barat’, yang merupakan kisah perjalanannya ke Eropa. Kisah perjalanan ini diterbitkan pada tahun 1950.

Juga menulis esai yang merupakan tanggapan polemik pada waktu itu, berjudul ‘Kritik atas Kritik’ yang terhimpun dalam Polemik Kebudayaan, dieditori oleh Achdiat Karta Mihardja. Dalam esainya tersebut, ia beranggapan bahwa suatu kultur tidak dapat dipindah-pindahkan karena pada tiap bangsa telah melekat tabiat dan pembawaan khas, yang tak dapat ditiru oleh orang lain. Ia memberikan perbandingan yang menyatakan bahwa suatu pohon rambutan tidak akan menghasilkan buah mangga, dan demikian pun sebaliknya.

Ia juga tercatat aktif di sejumlah organisasi, diantaranya ikut mendirikan Perguruan Tinggi Jurnalistik di Jakarta dan Fakultas Publisistik dan Jurnalistik Universitas Padjadjaran. Pernah menjadi Tjuo Sangi In (semacam Dewan Rakyat) yang dibentuk Jepang (1942-1945), anggota Dewan Perancang Nasional, anggota MPRS, Ketua Dewan Komisaris Penerbit Gunung Agung, dan Presiden Komisaris LKBN Antara. Karena kegiatannya di bidang pers sangat menonjol, namanya kemudian diabadikan untuk penghargaan dalam bidang jurnalistik di Indonesia.

Sastrawan dan tokoh pers Indonesia Adinegoro wafat di Jakarta, 8 Januari 1967 akibat serangan jantung. Jenazahnya dikuburkan di TPU Karet, Jakarta Pusat.

(Dari Berbagai Sumber)

Tidak ada komentar: