...aku menari bersama senja diiringi nyanyian hujan yang membekukan... ..

☂☂☂

Oktober 13, 2012

Snowballove. You..


Terlahir ditengah kesempurnaan raga dan keterbatasan penghidupan, tak pelak membuatnya berprinsip seperti air yang pasrah saja terbawa kesana kemari sealur oleh derasnya arus. Ia, seorang ayah yang hampir memasuki usia setengah abad, yang begitu luar biasa. Ya, memang.. setiap ayah di dunia ini pasti luar biasa, dan mereka memiliki ke-luarbiasa-annya masing-masing. Namun, satu yang membedakannya dari ayah-ayah lain yang pernah ada di dunia ini, yaitu ketulusan.

Aku ingat.. dahulu, di hari ketika aku baru saja genap berusia enam tahun dan merengek minta dibelikan sepeda, aku kehilangan mereka sepanjang hari. Tidak kurasakan sedetikpun kehangatan ditemani mereka sepenjang hari bahagia itu. Aku kesepian, tapi tak terlalu terasa, sebab aku masih kecil. Namun, ketika senja menjelang dan yang menemaniku hari itu beranjak pulang, aku menemukan siluet sosok gagah dan wanita dewasa berdampingan berjalan mengarah padaku dengan menuntun sebuah benda kecil ditengah mereka, sepeda. Mereka ayah dan ibuku. Dalam sadar aku kemudian berlari, memeluk mereka. Ternyata ini yang mereka persembahkan. Aku memeluknya erat, ayahku. Aku melihat matanya berbinar, seakan ada suatu hal yang tersiratkan. Entah mengapa aku bisa begitu dalam merasakannya, padahal saat itu aku masih belum mengerti kehidupan, dan masih sangat jelas terekam hingga saat ini. Mungkin bila aku yang sekarang yang menatap mata itu, pasti aku mengerti apa yang sebenarnya tak tersampaikan. Sayangnya, bukan...

Dari balik kubikel berwarna abu-abu ruang laboratorium bahasa Gedung Sumitro Djojohadikusumo, aku merasakan getaran hangat pada kedua pelupuk amata. Bulir air hangat ini seakan mendesak keluar sesaat ketika tuannya menangkap sinyal paling buruk sepanjang perjalanan cita-cita.

Otak reptil ini tiba-tiba membeku. Limbic system mengaktifkan kinerja hippocampus. Dan seketika itu pula terbayang sosoknya, panutan sepanjang masa yang mengajariku menitikkan air mata. Mengajariku memaknai pedih dan kerasnya hidup ini.

Aku merasa telah begitu bersalah. Setelah banyak pengorbanan dan air mata yang ia tahan, masih saja aku tega mengecewakannya. Sungguh, tak pernah berniat sedikitpun aku menorehkan kecewa dalam hatinya. Hanya saja aku sedang terjerembab dalam kelemahanku sendiri. Namun, aku tak akan membiarkan kelemahan ini tumbuh dan berkembang semaunya. Aku masih memiliki kuasa atas hidup dan penghidupanku.

Maka,...
Dua lembar saksi bisu ini akan kupastikan tetap membisu dan sekaligus menjadi saksi keberhasilanku bangkit kelak.

Demi dia.


Sabtu, 13 Oktober 2012
19.55 WIB
&langit-langit bagi hamparan angin&


Tidak ada komentar: