Terlahir ditengah kesempurnaan raga dan keterbatasan
penghidupan, tak pelak membuatnya berprinsip seperti air yang pasrah saja
terbawa kesana kemari sealur oleh derasnya arus. Ia, seorang ayah yang hampir
memasuki usia setengah abad, yang begitu luar biasa. Ya, memang.. setiap ayah
di dunia ini pasti luar biasa, dan mereka memiliki ke-luarbiasa-annya
masing-masing. Namun, satu yang membedakannya dari ayah-ayah lain yang pernah
ada di dunia ini, yaitu ketulusan.
Aku ingat.. dahulu, di hari ketika aku baru saja
genap berusia enam tahun dan merengek minta dibelikan sepeda, aku kehilangan
mereka sepanjang hari. Tidak kurasakan sedetikpun kehangatan ditemani mereka
sepenjang hari bahagia itu. Aku kesepian, tapi tak terlalu terasa, sebab aku masih
kecil. Namun, ketika senja menjelang dan yang menemaniku hari itu beranjak
pulang, aku menemukan siluet sosok gagah dan wanita dewasa berdampingan
berjalan mengarah padaku dengan menuntun sebuah benda kecil ditengah mereka,
sepeda. Mereka ayah dan ibuku. Dalam sadar aku kemudian berlari, memeluk
mereka. Ternyata ini yang mereka persembahkan. Aku memeluknya erat, ayahku. Aku
melihat matanya berbinar, seakan ada suatu hal yang tersiratkan. Entah mengapa
aku bisa begitu dalam merasakannya, padahal saat itu aku masih belum mengerti
kehidupan, dan masih sangat jelas terekam hingga saat ini. Mungkin bila aku
yang sekarang yang menatap mata itu, pasti aku mengerti apa yang sebenarnya tak
tersampaikan. Sayangnya, bukan...
Dari balik kubikel berwarna abu-abu ruang
laboratorium bahasa Gedung Sumitro Djojohadikusumo, aku merasakan getaran hangat pada kedua pelupuk amata. Bulir air hangat ini seakan mendesak keluar sesaat ketika tuannya menangkap sinyal paling buruk sepanjang perjalanan cita-cita.
Otak reptil ini tiba-tiba membeku. Limbic system mengaktifkan
kinerja hippocampus. Dan seketika itu pula terbayang sosoknya, panutan sepanjang
masa yang mengajariku menitikkan air mata. Mengajariku memaknai pedih dan
kerasnya hidup ini.
Aku merasa telah begitu bersalah. Setelah banyak pengorbanan
dan air mata yang ia tahan, masih saja aku tega mengecewakannya. Sungguh, tak
pernah berniat sedikitpun aku menorehkan kecewa dalam hatinya. Hanya saja aku
sedang terjerembab dalam kelemahanku sendiri. Namun, aku tak akan membiarkan kelemahan
ini tumbuh dan berkembang semaunya. Aku masih memiliki kuasa atas hidup dan
penghidupanku.
Maka,...
Dua lembar saksi bisu ini akan kupastikan tetap
membisu dan sekaligus menjadi saksi keberhasilanku bangkit kelak.
Demi dia.
Sabtu, 13 Oktober 2012
19.55 WIB
&langit-langit bagi hamparan angin&
Tidak ada komentar:
Posting Komentar