|
-1- |
Pelangiku kelabu. Bulir-bulir air hangat ini tumpah ruah.
Meluruhkan mejikuhibiniu keanggunannya. Ia meninggal.
Meninggal.
Ya. Ia sudah tiada. Kenangannya telah terkubur bersama
raganya. Raga yang selalu membelai gundahku. Raga yang menjadi sandaran
rapuhku. Raga yang menyatukan serpihan-serpihan kisah tak bernyawa. Namun, kini
dihancurkannya lagi. Tinggal gelap yang menyiksaku.
Semburat cahaya lilin dari kue ulang tahun masih menemani
hening. Sedari tadi. Tak muncul sedikitpun niatku untuk memadamkannya.
Sekalipun angka tujuh belas begitu manis terbakar olehnya.
Sweet
seventeen.
Ya. Tujuh belas tahun yang begitu indah, sekaligus memilukan. Betapa tidak?
Hampir dua puluh empat jam lalu, sesaat setelah aku dibuat
begitu bahagia karena menerima ucapan ulang tahun yang pertama –darinya– aku
harus mengikhlaskan kepergiannya. Rayi.
PING!!!
PING!!!
PING!!!
PING!!!
PING!!!
Getar-getar segaja ini membangunkanku dari lamunan panjang alam
mimpi. Tak lama kemudian, sebuah nada dering yang amat kurindukan terdengar
dari salah satu sudut ranjang tempatku rebah.
Aku terduduk.
Klik.
“Happy sweet seventeen, sayang. Semoga—” bla..bla..bla..
Suara diujung telepon terdengar amat bahagia. Begitupun diriku, dengan nyawa
yang hampir terkumpul sempurna.
“Makasih ya, sayang.” Senyumku mengembang. Pandanganku
terarah pada sepucuk surat yang muncul dari dalam kotak biru muda di dekat meja
rias. Pasti mama yang meletakkannya disana, “kotak itu dari kamu?”
“Kotak yang mana, ya?”
“Hayo, jangan bohong sama aku.”
“Hehe, iya.” Cengirannya terekam jelas oleh memoriku. Pasti
saat ini ia sedang menampakkan air muka yang sama.
“Makasih ya, Ra.”
“Udah, ah. Jangan bilang makasih terus. Kamu do’ain aku aja
supaya nanti pagi udah bisa sampai Jakarta dengan selamat. Lantas bisa kasih
surprise ke kamu.”
“Iya, iya.. Aku selalu do’ain kamu, kok. Dan kamu nggak perlu kasih surprise apa-apa lagi buat aku. Ini
semua udah cukup, Ra.”
Tak ada suara yang menyahut.
“Dengan kamu menjadi pengucap dan pemberi hadiah pertama-pun
udah cukup. Aku sayang kamu. Kamu hati-hati ya.”
Tut..
tut.. tut..
Telepon terputus.
Senyumku masih tersisa. Aku berharap detik ini akan selalu
menjadi teman setiaku. Sekalipun kantuk menyergap. Aku kembali tertidur.
Membawa semua kenangan tentang Rayi ke alam mimpi.
...Kamu do’ain aku aja
supaya nanti pagi udah bisa sampai Jakarta dengan selamat. Lantas bisa kasih
surprise ke kamu...
Deg.
Tangisku tumpah. Baru saja Tante Intan, mamanya Rayi,
mengabariku tentang berita duka ini. Rayi pergi. Ternyata, kalimat terakhir
Rayi semalam adalah benar-benar kalimat terakhirnya. Selamanya.
Rayi mengalami kecelakaan serius saat
mengendarai mobilnya menuju Jakarta. Padahal dalam waktu yang hampir bersamaan,
bunga-bunga kebahagiaanku masih belum berhenti bermekaran. Seolah terjadi stock split
padanya.
Angka tujuh
belas itu masih disana. Masih terbakar oleh api pertanda perpisahan. Aku masih
belum berniat memadamkannya.
Pikiranku
mengawang. Kuputuskan untuk melangkahkan kaki keluar, mencari sedikit
kesejukan. Taman.
Salah! Adalah
keputusan yang salah aku melangkah kesini. Nyatanya, lampu-lampu taman dan
penataan meja yang begitu rapi menyisakan kenangan terakhir tentang Rayi.
Rupanya, ia telah mempersiapkan pesta ulang tahunku dengan begitu indah melalui
invisible hand-nya yang ada di
Jakarta, Rama. Sekalipun raganya dituntut untuk fokus pada penelitian yang
sedang dikerjakan, pikirannya tak sepenuhnya mampu memungkiri bahwa rasa
sayangnya padaku begitu tulus. Terpaut usia lima tahun tak pernah sedikitpun
membuatnya ragu. Katanya, aku berbeda. Aku tidak manja seperti kebanyakan
remaja labil seusiaku. Aku manja pada saat-saat yang semestinya, begitu
pendapat Rayi.
Aku selalu
dibuatnya bahagia. Tersenyum adalah satu-satunya kebiasaanku ketika disisinya
dan saat mengingatnya. Aku sayang Rayi.
Hujan lagi.
Pelupuk mata ini sudah lelah menelurkan butir-butir kepedihan sejak tadi.
Namun, apa daya. Perih masih saja hinggap saat raga sudah tak nampak.
Langkahku
mendekati rangkaian bunga di sudut sebuah meja yang paling besar. Indah. Pasti Rayi yang memesan rangkaian detail
khusus ini, gumamku. Aku selalu ingat bahwa Rayi selalu memilihkan bunganya
sendiri. Detail rangkaiannya-pun selalu harus....perfectly.
Tanganku
mengusap air mata yang hendak turun lagi. Aku berusaha membendungnya dari
hadapan bunga terakhir persembahan Rayi.
Hatiku perih.
Masih perih. Aku belum dapat percaya sepenuhnya kekasihku sudah tiada. Padahal
beberapa malam sebelumnya ia masih memelukku. Erat. Sebuah
pertanda perpisahan yang baru kusadari detik ini.
Aku kembali ke
kamar. Lilin itu masih saja disana. Kuhampiri, kupadamkan perlahan.
Gelap. Layaknya
malam yang semakin larut. Serupa nyawaku.
Kuletakkan
rangkaian bunga di sudut meja rias. Kurebahkan tubuh yang teramat lelah ini.
Kubiarkan nyawaku pergi ke belantara alam bawah sadar.