“Ma,
besok pagi Rara minta uang ya buat beli buku,” ucap Rara memelas kepada mamanya
usai makan malam.
“Buku
apa lagi sih Ra?” Kamu itu selalu minta dibelikan buku. Tiap ada ‘book fair’
juga selalu ingin datang.” Kata mamanya agak kesal. Gadis sulungnya itu selalu
menyukai hal-hal yang jarang disukai remaja seusianya. Pergi ke mall saja bukan
untuk beli baju, tapi selalu buku bacaan yang dibelinya. Bukannya tidak suka,
tapi wanita paruh baya yang masih terlihat cantik itu khawatir anaknya akan
menyesal tidak sempat menjalani kehidupan sebagai remaja biasa yang diberi
kebebasan. Tapi untung saja, penampilan Rara tidak terlihat jauh berbeda dengan
remaja lainnya –meskipun Rara tidak pernah sekalipun memasuki salon tertentu
untuk melakukan perawatan khusus, karena Rara memang tidak suka–.
Rara
mendengus kesal, “tapi kan mama belum pernah mewujudkannya satu pun”, kali ini
nada bicara Rara berubah agak meninggi.
“Ya,
memang mama tidak akan penuhi semua yang berhubungan dengan hobi kamu itu. Mama
hanya memberi kamu uang jajan setiap pagi. Lalu terserah kamu, mau kamu gunakan
untuk apa uang itu.” Kata mama Rara sambil bangkit dari duduknya.
Rara
merasakan sesuatu yang aneh. Kenapa mamanya tidak mendukung hobi positif Rara?
Berbagai prasangka memenuhi benak Rara. “Ah, sudahlah. Lihat saja suatu saat
kelak aku akan menjadi penulis yang sukses. Dan mama pasti bangga.” Rara
bergumam pelan.
®®®
Sejak
saat itu, Rara semakin giat menekuni hobinya menulis. Hubungan dengan
mamanya-pun telah kembali seperti biasa. Meskipun sejujurnya masih ada perasaan
lain dalam hati Rara. Namun ia berusaha menyimpannya rapat-rapat, khawatir ada
yang tahu. Ia telah berkomitmen dengan dirinya sendiri, bahwa ia akan tetap menekuni
hobinya dengan serius, sekalipun wanita yang dicintainya tidak akan pernah
mendukung penuh. Rara memang terbiasa melakukan segala hal sendiri. Sejak
tumbuh sebagai remaja belia, Rara menyadari bahwa perlakuan mamanya kepada Rara
dan Lala, adiknya, sangat berbeda. Namun hal itu hanya dipendamnya dalam hati.
Tak pernah Rara berniat untuk mengungkapkannya, bahkan pada buku hariannya
sekalipun. Meski begitu, Rara sangat mencintai mamanya.
“Astaghfirullah,
ya Allah maafin Rara yang berprasangka lagi sama mama,” gumam Rara menyadari
kekeliruan dirinya.
®®®
Disekolah,
Rara tumbuh sebagai remaja belia yang sangat menggemari dunia buku, baca, dan
tulis-menulis. Ia sangat ingin kelak bisa menjadi penulis hebat. Kecintaannya
tersebut membuatnya rela tidak menjamah kantin sekolah demi mengumpulkan uang
untuk membeli buku bacaan dan menjelajahi berbagai event book fair yang menarik
perhatiannya.
Meskipun
dunia hobi Rara berbeda dengan teman-temannya kebanyakan, Rara mampu
bersosialisasi dengan baik di lingkungan belajarnya. Hanya disanalah Rara
memperoleh senyum dan semangat untuk terus mengembangkan hobinya.
®®®
Rara
menapaki anak tangga SMA Nusantara satu demi satu. Melangkah mantap menuju
ruang kelasnya di lantai tiga. Ketika hendak mengambil posisi duduk di baris
kedua dekat tembok, tiba-tiba ada yang menepuk pundaknya dari belakang.
Menjatuhkan buku bacaan yang ada di tangan kanan Rara.
“Ra,
tumben baru dateng. Dari tadi gue nyariin lo mau ngasih ini.” Seorang gadis
berambut ikal menyerahkan sebuah amplop cokelat pada Rara.
“Ini
apa zi?”
“Baca
aja Ra! Gue buru-buru nih mau ke kelas. Udah dulu ya, daah…” gadis yang disapa
Zia itu berjalan meninggalkan Rara menuju kelasnya yang berada berdampingan
dengan kelas Rara.
“Thanks,
Zi.” Ucap Rara setengah berteriak mengingat langakh Zia yang sudah mencapai
pintu kelas XI IPA 3. Rara duduk ditempatnya. Membuka amplop cokelat yang tadi
diberikan Zia. Membaca tiap lembarnya dengan serius dan teliti.
Bel
masuk SMA Nusantara berdering. Rara merapikan lembar-lembar yang baru saja
dibacanya, kemudian memasukkannya ke dalam tas. Aroma wajahnya terlihat begitu
cerah. Tangannya yang lincah mengambil ponsel berwarna ungu muda dari saku rok
abu-abu, kemudian mengayunkan jemarinya mengetikkan sebuah pesan yang ditujukan
untuk sahabatnya di kelas sebelah, Fauzia Larasati.
To:
Zia
Zi,
pulang sekolah gue tunggu di taman biasa ya. Merci.
®®®
“Zia,
akhirnya lo dateng juga. Nih…” ucap Rara seraya menyodorkan map berwarna merah
dan biru.
Zia
yang sudah hafal perilaku sahabatnya itu langsung menerima kedua map yang
disodorkan kemudian mengambil posisi duduk yang nyaman. Zia membaca isinya satu
per satu.
Sementara
Zia membaca kedua cerpen miliknya, Rara sibuk berkutat dengan pulpen dan buku
kecil yang selalu dibawanya. Lima belas menit berlalu. Zia telah selesai
membaca kedua cerpen Rara. “Bagus, Ra. Tapi kok lo cepet banget bikinnya? Kan
baru tadi pagi gue kasih undangan lomba.”
“Iya,
ini koleksi cerpen yang ada di flashdisk gue. Udah selesai lama kok. Tadi cuma
gue edit sedikit disesuai-in sama persyaratan lomba.”
“Oh.
Pantes tadi gue liat lo masuk lab. komputer, hari ini kan lo ngga ada jam-nya.
Terus, kalo menang lagi uangnya mau lo apain Ra? Buat nyokap lo lagi?” tanya Zia
dengan nada suara diperhalus, takut menyinggung perasaan sahabatnya itu. Rara
memang sangat rapuh untuk hal-hal yang berkaitan dengan mamanya. Rara selalu
merasa sedih bila mengingat perlakuan mamanya yang tidak pernah menyukai hobi
menulisnya itu. Padahal, sudah sangat sering Rara menjuarai perlombaan, dan
hadiahnya selalu dipersembahkan untuk mamanya. Namun, mama Rara tetap saja
tidak peduli.
“Iya,
Zi.” Jawab Rara mendadak lemas.
“Gue
salut sama lo, Ra. Lo nggak pernah capek berusaha meluluhkan perasaan nyokap lo
yang jelas-jelas ngga suka kalo lo nulis. Bahkan, bukannya bangga, tapi lo
justru dimarahin tiap menang lomba.”
“Tapi
gue percaya kok, Zi, suatu saat mama pasti dukung hobi dan cita-cita gue ini.”
“Semangat
terus ya, Ra. Gue selalu dukung lo kok.”
“Yaudah,
sekarang temenin gue daftar ya. Sekalian ngumpulin cerpen ini.”
“Tapi
batas waktunya kan masih seminggu lagi. Cerpen ini udah final? Mana yang mau lo
kirim buat lomba? Persyaratannya emang udah siap semua?”
“Gue
kirim yang ini, Zi”, ucap Rara seraya menunjukkan map berwarna merah dan
memasukkan map biru ke dalam tasnya, “persyaratannya gampang kok, cuma butuh
surat keterangan dari sekolah aja, tadi langsung gue urus dan sekarang udah
dapet.”
“Kok
cepet?”
“Iya,
gue minta bantuan Bu Marini.”
“Oke
deh. Mau berangkat kapan?”
“Sekarang
yuk, tapi gue kabarin mama dulu.”
“Sipp.”
Rara
mengambil ponselnya kemudian mengetikkan sesuatu.
To:
Mama
Aslm.
Ma, Rara pulang telat hari ini. Ada rapat.
‘Ma, maaf ya Rara harus bohong lagi sama mama’
Rara bergumam. Ia memandangi layar ponselnya. Berharap ada balasan. Namun,
nihil… Tak ada balasan. Ia memasukkan kembali ponselnya dalam saku rok abu-abu,
kemudian berjalan mengikuti sahabatnya yang sudah beranjak sejak beberapa
detik.
®®®
Dua
pekan kemudian, pemenang lomba cerpen diumumkan. Rara juara lagi. Kemudian ia
buru-buru pulang kerumah untuk memberitahukan kabar ini pada mamanya.
“Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumsalam.”
“Ma,
ini hadiah lomba cerpen. Rara baru aja menang lagi.”
“Kamu
masih sering ikut lomba cerpen? Udah berapa kali sih mama bilang, kalau mama
ngga suka kamu nulis. Lupain lah hobi menulis kamu itu. Kamu sekolah aja yang
serius.”
“Tapi
kenapa ma? Bukannya prestasi Rara dikelas juga ngga buruk? Kenapa mama tetep ngga
izinin Rara dengan hobi menulis?” emosi Rara mulai muncul, namun ia berusaha
menutupi dengan ketenangannya.
“Apapun
alasannya, mama tetap ngga akan pernah suka dengan hobi kamu itu. Sudah, sana
masuk kamar!” ucap mamanya agak membentak.
Rara
kecewa, hati mamanya masih belum tersentuh dengan segala prestasi yang telah
diraihnya susah payah. Langkahnya lesu menuju kamarnya di lantai dua.
Kesedihannya telah mencapai puncak. Ia tidak mampu menyimpannya sendiri. Ia
segera menghubungi Zia…
“Zi…”
“Iya,
Ra.” Sahut suara diseberang.
“…”
Rara terdiam.
“Kenapa
Ra? Nyokap lo masih belum bisa suka dengan hobi lo ya?” Zia menebak.
“Iya,
Zi. Gue bingung harus gimana lagi. Andai aja sekarang gue tinggal sama bokap.
Pasti beliau dukung hobi gue. Sayangnya bokap lebih milih tinggal di Bandung.”
“Sabar
aja ya, Ra. Kan lo yang bilang sendiri. Suatu saat nyokap lo pasti dukung hobi
lo itu. Yang penting lo terus buktiin ke nyokap, kalau lo patut dibanggakan.”
“Zi…
Sekarang gue mulai ngerasa capek buat buktiin itu ke nyokap.”
“Kenapa?”
“Rasa
sabar gue udah ngga ada lagi. Padahal gue selalu menghargai nyokap dengan semua
larangannya tentang hobi gue. Gue berusaha tetap kuat walaupun harus
sembunyi-sembunyi ngejalanin hobi ini.”
“…”
“Gue
ngga mau nyusahin lo terus Zi.”
“Gue
ngga….”
Rara
segera memotong, “Lo emang sahabat terbaik gue, Zi. Walaupun hampir setiap hari
gue kerumah lo cuma buat nenangin diri. Entah itu untuk nulis ataupun nenangin
diri dari masalah dirumah. Makasih banyak ya, Zi.”
“Ra,
lo harus tetep kuat. Bukannya sahabat gue selalu kuat?”
“Tahun
baru yang lalu, gue pulang bawa piala juara nasional. Hari kartini, gue berhasil
juara lomba karya tulis. Ulang tahun nyokap, gue mempersembahkan uang hadiah lomba
cerpen yang gue anggap hasil jerih payah pertama gue. Awal semester lalu, gue
terpilih sebagai perwakilan dari sekolah dalam event besar. Hari ibu, gue kasih
kumpulan puisi dan tulisan indah yang hampir terbit tapi gue tolak, buat
nyokap. Terakhir, juara umum lomba cerpen kartini. Semua itu buah dari hobi
menulis gue. Tapi satupun ngga ada yang dilirik sama nyokap gue. Dia cuek aja.
Gue ngerasa ngga dianggep dirumah. Capek, Zi…” tak terasa air mata Rara menitik
di pipinya.
“Ra,
biar gimanapun, beliau tetap nyokap lo. Dia sayang kok sama semua anaknya.
Percaya deh sama gue. Dia mau yang terbaik untuk anak-anaknya.”
“Yang
terbaik? Apa yang terbaik menurutnya dengan melarang gue dengan hobi nulis?”
“Nyokap
lo pasti punya alas an lain. Suatu saat mungkin lo akan tau itu. Yang penting
lo harus yakin sama diri sendiri. Lanjutin hobi lo! Suatu saat pasti luluh kok,
kalau lo sungguh-sungguh.”
Air
mata Rara tak terbendung lagi.
“Sekarang
lo istirahat, ya. Masih banyak cara kok buat lo yakinin nyokap kalau lo patut
dibanggakan.”
“Thanks
ya, Zia!”
“Sama-sama.”
Telepon
terputus. Rara bergerak menuju meja belajarnya sambil memegangi dadanya yang
tiba-tiba sesak. Mulai sibuk kembali dengan alat tulisnya. Ia mencurahkan
segala isi hatinya dalam goresan-goresan indah diatas kertas berupa cerita dan
puisi. Tentang mamanya. Tentang betapa rindunya ia terhadap dukungan mamanya
dengan hobinya menulis. Tentang perasaannya yang begitu mencintai dan
menghargai mamanya, sepenuh hati.
Rara
terlelap dalam sedih. Kepalanya tersandar lemah diatas meja belajar. Masih
terlihat bekas air mata di pipinya. Raut wajahnya sepi, namun penuh harap.
Mamanya masuk kedalam kamar Rara yang tak terkunci. Memandangi gadis sulungnya
yang terlelap sedih. Ia melihat kearah kertas-kertas penuh tulisan yang
berserakan disekitar meja belajar, kemudian mengambilnya dan membacanya. Tak
berapa lama, kertas-kertas itu dikembalikannya pada tempat semula.
“Maafin
mama ya, Ra.” Ucapnya lemah. Tubuhnya berbalik. Keluar dari kamar Rara dengan
berjuta perasaan bersalah.
Rara
tak pernah mendengar itu.
®®®
Seuntai musik merdu mengalun lembut
dari ponsel berwarna ungu. Menandakan bahwa sebuah pesan telah masuk.
Membuyarkan lamunan Rara ditengah hamparan taman yang hijau.
Sender : Zia
Received : 03:49:38
pm [2.Apr.2011]
Raraaa…
Selamat yaa, kumpulan kisah kartini lo lulus seleksi. Dua minggu lagi terbit. 21
April launching. Sekali lagi selamat ya sahabatku yang paling hebat dan selalu
membanggakan J
Rara
menutup pesan tanpa membalasnya terlebih dahulu. Hatinya merasa hampa. Buat apa
kisah kartini karyanya terbit kalau orang istimewa yang ingin ia persembahkan
tak pernah menyukainya.
Ditengah
kesediriannya di taman, Zia datang. Zia merasa tidak pantas kalau tidak
mengucapkan maaf dan selamat secara langsung.
“Rara…”
sapanya.
“Eh,
Zia. Kok tau gue disini?”
“Sahabat
macem apa kalo ngga tau kebiasaan sahabatnya sendiri.” Lanjutnya mencairkan
suasana yang dirasa ‘sedikit’ agak kaku.
“Oh,
iya.”
“Sekali
lagi gue minta maaf ya, Ra. Gue ngga bilang-bilang dulu waktu kirim koleksi
kisah kartini lo.”
“Iya
nggak apa-apa kok.” Jawab Rara masih kaku.
“Selamat
juga ya!”
“Makasih.”
“…”
Zia mendadak tidak memiliki topik pembicaraan yang tepat. Perasaan bersalah Zia
sangat besar menutupi kesetiannya terhadap persahabatan diantara mereka. Zia
merasa sangat berdosa menyembunyikan kenyataan indah dari mata Rara. Pikirannya
tiba-tiba teringat ketika pekan lalu mama Rara menemuinya dengan membawa
koleksi tulisan Rara yang bertajuk untuk kartini. Mama Rara memintanya untuk
mengirimkan tulisan Rara pada penerbit yang dulu sempat menawarkan untuk
menerbitkan tulisan-tulisan Rara. Awalnya Zia bingung, namun setelah mama Rara
menjelaskan bahwa selama ini ia tidak benar-benar mengacuhkan Rara, ia hanya
sangat menyayangi Rara. Tapi, ia tidak ingin merubah pandangan Rara
terhadapnya. Biarlah Rara tetap menganggapnya sebagai ibu yang tidak
mempedulikan anaknya. Ia sudah sangat bahagia mengetahui Rara masih sangat
menghormatinya, walaupun selama ini ia tidak pernah menyukai Rara dengan
hobinya. Kini Zia mengerti. Satu hal lagi, mama Rara memintanya untuk
menyembunyikan ini dari Rara. Dan hal inilah yang membuat batin Zia bergejolak.
Rara
tak pernah mengetahuinya.
“Ra,
sekali lagi maaf dan selamat ya. Mungkin lo butuh sendiri sekarang. Kalo gitu,
gue pulang dulu ya. Jangan lupa 21 April grand launching buku pertama lo di sekolah,
sesuai keinginan lo. Bye~”
Rara
masih terdiam. Hatinya semakin bimbang. Ia tidak ingin menghadiri acara
tersebut tanpa mamanya. Namun itu sangat tidak mungkin. Ia harus tetap datang
karena itu acara miliknya, namun mamanya pasti tidak akan pernah mau datang.
Dua hal yang bertentangan. Semakin membuat Rara sedih diantara burung-burung
yang berkicau sore itu.
®®®
21
April 2011.
Pagi
itu Rara menyendiri di taman yang biasa menemaninya dikala sepi. Sekolahnya
diliburkan. Dua jam lagi, acara launching dimulai. Rara sudah rapi, namun
hatinya belum mantap untuk hadir seorang diri. Tadi pagi sebelum pergi ke
taman, Rara sempat memohon pada mamanya untuk menghadiri acara launching buku
pertama Rara, namun hasilnya masih sama seperti puluhan permintaan Rara
sebelumnya. Tidak. Maka Rara memutuskan untuk pergi ke taman ini. memantapkan dirinya
untuk hadir seorang diri. Tanpa mamanya.
Disisi
lain, mamanya sedang bersiap menghadiri launching buku pertama Rara. Ia merasa
sangat bangga memiliki seorang gadis sulung yang sudah mampu membuktikan semua
prestasinya diantara berbagai halangan. Ia ingin memberikan kejutan di hari
yang bersejarah ini.
Satu
jam berlalu. Tangan Rara sejak tadi sibuk menuliskan puisi untuk mamanya diatas
selembar kertas manis berwarna merah muda. Rara berniat membacakan puisi itu
dalam acaranya nanti. Berharap mamanya akan memberikan senyuman bangga untuknya
di hari Kartini ini. Rara melipat kertas itu dan menggenggamnya erat. Hatinya
telah mantap, mamanya datang atau tidak, ia akan tetap hadir mempersembahkan
yang terbaik dalam acaranya. Puncak awal atas usahanya selama ini.
Rara
berjalan menuju sekolahnya dengan perasaan yang lebih tenang dari tadi pagi. Ia
berusaha menaklukan jalanan yang ramai oleh kendaraan yang lalu lalang. Jalan
menuju sekolahnya memang agak rumit. Rara harus bersabar menunggu sampai
jalanan agak sepi untuk dapat ia sebrangi.
Sesaat
kemudian, Rara melihat sesosok perempuan mirip mamanya di koridor SMA Nusantara
dari sebrang. Rara tak sabar untuk memastikan. Langkahnya terayun begitu saja.
Tanpa disadari, sebuah mobil pribadi berwarna hitam melaju sangat kencang
hingga menabrak Rara yang berjalan begitu saja. Tubuh Rara terpelanting. Darah
mengalir deras. Tangannya masih menggenggam kertas berwarna merah muda. Sosok
wanita yang menurut Rara adalah mamanya, berlari menghampiri tubuh Rara yang
berlumuran darah. Orang-orang disekitar turut menghampiri hingga tubuh Rara
terkepung lautan manusia yang melihat. Tak terkecuali Zia, sahabat setia Rara
yang baru saja sampai.
“Raraaa…”
teriaknya sedih.
Zia
dan mama Rara terbalut oleh kesedihan. Air mata keduanya mengalir.
“Rara,
maafin mama, nak. Selama ini mama nggak pernah buat kamu tersenyum.” Wanita itu
menangis sejadi-jadinya ketika mendapati tubuh gadis sulungnya tak bernyawa
lagi.
Zia
yang juga tak dapat membendung kesedihannya membiarkan air matanya mengalir
deras. Pandangannya tertuju pada sesuatu dalam genggaman Rara. Ia mengambilnya.
Kemudian menyerahkannya pada mama Rara. Sebuah puisi.
Merindukan Senyum Sang Kartini
Gerimis
turun perlahan
Menghapus
lelah dari peraduan
Mendamaikan
jiwa yang gamang
Sebab
senja tak kunjung menjelang
Dalam
duka, kita berguru pada hujan
Seperti
air mencintai lautan
Ketika
angin malam berhembus lembut
Gurat
bahagia terpancar dari wajahnya
Meninggalkan
duka…
Melepas
gundah…
Namun,
sang waktu merubah semua
Gurat
bahagia, lautan tawa
Kini
sirna tiada berbekas
Hanya
tersisa bait-bait duka
Disini,
masih ada lautan
Yang
mencintai airnya sepenuh hati
Masih
ada bulan
Yang
selalu menanti kehadiran sang bintang
Seperti
itulah aku menyayangimu
Tak
akan kurang meski waktu
Kian
merengkuh hati yang pilu,
Tersenyumlah
kembali, KARTINIKU…