Aku
menapaki hidupku perlahan-lahan. Merasakan getar kehangatannya yang kian
merasuk dalam kalbu. Mencecap manisnya kelembutan yang disuguhkan. Hembusan
angin mengalun dihadapanku. Menyentuh jemariku yang terpaku pada sebuah besi
penyangga di lantai dua gedung
A yang menghadap langsung ke arah kolam makara. Aku telah berdiri disana sejak beberapa menit lalu. Berdampingan
dengan seseorang yang telah kukenal baik.
“Aku
begitu ingin mampu merengkuh hidupku sendiri. Ingin mampu memaknai arti hidup
yang sebenarnya.” Ucapku tiba-tiba.
“Ada
apa dengan hidupmu?” tanyanya lembut.
“Hidupku
begitu datar. Flat!” jawabku
Kedua
bola matanya masih menerawang memandangi langit malam yang penuh dengan kilauan
bintang ketika menanggapi kalimatku, “terkadang kita memang harus memberikan
sedikit warna dalam hidup. Meskipun sebenarnya, takkan pernah ada hidup yang
sempurna.”
“Setiap hari, bahkan setiap detik, aku
melewati hidupku dengan berlari dan terus berlari. Hanya mengikuti alur yang
telah ada. Sedikitpun tak pernah aku merasa lelah ataupun berusaha berontak.”
“Itulah
hidup. Hidup ada untuk dijalani.”
Aku
terdiam.
“Coba
kau lihat bulan diantara pijaran bintang diatas sana,” telunjuknya mengarahkan
mataku pada apa yang ia ucapkan, “ia begitu indah. Ia selalu tulus muncul
dikala malam.”
“Tapi
hidupku berbeda dengan bulan. Ia selalu memiliki cara untuk memastikan
ketulusannya tetap terpancar. Namun tidak dengan hidupku. Hidupku penuh dengan
kepalsuan. Semua hanya sebagai formalitas. Tak sedikitpun ketulusan dapat
tersirat darinya.”
“Kau
salah, ketulusan itu akan selalu ada dalam kehidupan, meskipun keberadaannya
hanya setetes sekalipun.” Ia menarik napas dalam-dalam.
“Darimana
kau tahu itu? Kau bahkan pernah bertanya padaku apa itu hidup.”
“Dari
jutaan pijaran bintang diatas sana. Barusan mereka meniupkan sesuatu kedalam
diriku.” Seketika itu ia tersenyum tipis, sangat tipis hingga tak dapat
terjangkau oleh orang-orang disekeliling selain aku. Hanya aku.
Tanpa
kusadari, senyumku juga mengembang menyaksikan taburan bintang yang menyapaku
dibalik langit yang semakin gelap.
“Kau
mau kuantar pulang sekarang? Sebelum langit malam semakin muak memandangi kita
berdua disini.” Ujarnya berusaha mencairkan suasana dari perbincangan ‘berat’
tadi.
Aku hanya
mengangguk dan berusaha menampilkan senyum tipis.
∫
“Istirahat
yang cukup ya. Jangan pernah menganggap hidupmu datar lagi. Aku percaya bahwa
ketulusan sebentar lagi akan menampakkan wujudnya dihadapanmu.”
“Kau
yakin?”
“Ya...
tentu saja. Aku selalu yakin dengan apa yang aku ucapkan.”
“Okay.
I still be waiting for it. Thanks for today.”
Tubuhnya
berbalik dan berjalan menjauh. Lama kelamaan menghilang tertutupi gelapnya
malam. Aku selalu takjub ketika kalimat bijaknya muncul. Ah...
∫
Kamis,
18 Agustus 2011 (15:45 WIB)
Sabtu,
13 Oktober 2012 (20:20 WIB)
&langit-langit
bagi hamparan angin&